Salah
satu faktor dalam indeks daya saing suatu negara adalah indeks kesiapan
teknologi (WEF, 2013). Indeks ini diperoleh dengan banyak sekali parameter
penilaian seperti kebijakan suatu negara, besarnya APB yang dicurahkan untuk
ristek dan sebagainya. Jangkauan dari indeks ini sendiri mulai dari 1-7, dimana
7 menunjukkan kesiapan yang terbaik. Pada tahun 2013-2014, Indonesia mampu
mencapai indeks kesiapan teknologi 3,66. Waah lebih dari 3,5. Tapi jangan
senang dulu, karena negara kita berada pada peringkat 75 dunia. Jika dilihat
dari tahun sebelumnya pun kita mengalami penurunan.
Parameter
lain yang menjadi penilaian adalah indeks inovasi. Indeks inovasi Indonesia
pada tahun 2013-2014 mencapai 3,82. Indeks ini cukup untuk mendongkrak
Indonesia pada peringkat 33 dunia dalam indeks inovasi. Sama seperti indeks
kesiapan teknologi, indeks inovasi inipun bersifat naik-turun terhadap negara
lain jika melihat kurun waktu 5 tahun belakangan.
Dalam
sumberdaya IPTEK, Indonesia memiliki investasi IPTEK nasional sebesar 0,08% PDB
serta jumlah peneliti per 1 juta penduduk sebesar 518 peneliti. Namun demikian,
Indonesia masih sangat lemah jika dibandingkan dengan negara lain di dunia.
Dengan kata lain IPTEK di Indonesia masih belum menjadi hal penting seperti di
negara lain.
Produktivitas
IPTEK Indonesia pun selaras dengan sumberdaya manusia yang dimiliki, masih
sangat rendah. Di ASEAN saja kita hanya menduduki peringkat empat dengan
selisih jurnal per tahun yang cukup besar dengan Singapura, Malaysia dan
Thailand. Padahal penelitian tanpa jurnal ibarat lulus tanpa ijazah. Kita tidak
punya bukti tertulis yang menyatakan kita telah melalui proses pendidikan
ataupun penelitian.
Kesemua
hal tersebut berujung pada kegagalan meningkatkan nilai tambah produk. Sehingga
mengakibatkan Indonesia berada dalam Middle Income Trap.
Pada tahun 1990, Indonesia masuk ke dalam golongan negara dengan pendapatan
menengah ke bawah atau lower-middle income country.
Sampai sekarang bahkan kita belum masuk ke dalam golongan negara dengan
pendapatan menengah ke atas atau upper-middle income country.
Masuk
ke dalam middle income trap berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia
sedang berada dalam kondisi stagnan, karena kita masih belum mampu untuk tumbuh
menjadi negara maju. Faktanya dari 101 negara yang pada tahun 1960 tergolong ke
dalam negara berpendapatan menengah, hanya ada 13 negara yang berhasil lepas
dari jebakan tersebut. Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut lahir dari
perlambatan pertumbuhan produktivitas. Ini erat sekali kaitannya terhadap
kemampuan daya saing Indonesia terhadap negara lain, yaitu negara dengan
pendapatan rendah dan tinggi. Persaingan dengan negara berpenpatan rendah
merupakan persaingan kuantitas sdm dengan upah rendah yang bisa diberikan untuk
industri. Sedangkan dengan negara maju merupakan persaingan menghasilkan produk
dengan nilai tambah tinggi, buah inovasi dan teknologi.
Untuk
keluar dari middle income trap,
maka mari kita bandingkan diri dengan negara maju agar kita bisa bersaing.
Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, negara maju menghasilkan produk yang
merupakan hasil inovasi dan teknologi. Pemanfaatan teknologi untuk produk yang
mereka hasilkan memperhatikan sekali tiga faktor ini: kesiapan pengguna
teknologi, kesiapan teknologi dan yang terakhir adalah efektivitas komunikasi
dan intermediasi penyedia dan pengguna teknologi. Negera maju sangat
memperhatikan ketiga faktor tersebut. Salah satu kunci yang sangat erat dengan
kehidupan mahasiswa adalah integrasi antara lembaga riset dengan industri.
Di
Jerman, investasi yang dilakukan pada proses riset 66% berasal dari industri,
4% dari luar negeri sedangkan 30% sisanya berasal dari negara. Ini cukup berbeda
dengan yang kondisi negara kita. Selain dari persentase, jumlah dari dana yang
dikucurkan untuk perkembangan IPTEK sendiri sangat kecil. Kecenderungan
industri dalam negeri sendiri adalah untuk mengadopsi teknologi dari luar
negeri, tanpa memperhatikan kualitas teknologi yang dihasilkan anak bangsa.
Proses riset ini sendiri bisa dijalankan oleh beberapa lembaga seperti lembaga
litbang dan yang paling penting tentu dilakukan oleh lembaga pendidikan.
Disinilah peran mahasiswa diperlukan sebagai salah satu sumber daya manusia
yang bisa diandalkan untuk meningkatkan daya saing teknologi nasional.
Mahasiswa
sebagai motor utama penelitian dari lembaga pendidikan sudah seharusnya
terhubungan dengan industri nasional. Apa yang terjadi jika ternyata motor tersebut
ternyata tidak banyak bekerja seperti yang seharusnya? Bukan hanya masa kini
dari IPTEK Indonesia, tetapi juga masa depan bangsa ini. Bahkan tidak menutup
kemungkinan kehancuran IPTEK nasional berujung pada kehancuran-kehancuran yang
lain. Bagi saya, IPTEK sudah tentu bukan melulu soal akademik, namun juga pola
pikir dan bidang gerakan mahasiswa.
Lantas
ketika kita hanya menjadi seorang mahasiswa apakah kontribusi IPTEK sepenting
itu memungkinkan? Ketika Ilmuwan-ilmuwan dan insinyur-insinyur senior kita saja
tak lagi mampu menghasilkan kontribusi yang signifikan pada IPTEK, apa kita
mahasiswa mampu? Bisa tentu bisa. Usia mahasiswa merupakan umur dimana manusia
sedang berada pada tahap paling kreatif (Ada penelitiannya, tapi saya lupa
sumbernya). Maka banyak penemuan baru serta teori-teori yang dianggap gila
lahir dari orang-orang dengan rentang usia mahasiswa seperti kita ini. Sebut
saja Isaac Newton. Pada tahun 1664-1666, Newton menggoncang dunia dengan tiga
penemuan paling penting yang tanpanya peradaban kita takkan maju. Tiga penemuan
itu merupakan kalkulus, hukum gravitasi umum dan spektrum cahaya putih. Dua
tahun itu penting sekali bagi dunia dan bagi Newton. Oh, aku lupa bilang,
Newton lahir pada tanggal 25 Desember 1643. Kemudian ada juga Einstein yang
mempublikasikan paper tentang relativitas ketika ia berusia 26 tahun. Bayangkan
saja, dia seumuran Abah ketika mengubah dunia men!
Sebuah
kesalahan besar jika kita meremehkan potensi kita sendiri sebagai mahasiswa
dalam bidang IPTEK. Berikutnya sekarang tinggal masalah kemauan dan
ketertarikan. Fakta berikutnya dari kuesioner yang telah disebar sebelum
Kabinet ini naik menunjukkan bahwa ketertarikan mahasiswa ITB terhadap IPTEK
berada di posisi terakhir ketimbang masalah Kaderisasi, Sosial Politik,
Pengabdian Masyarakat dan Advokasi. Kita bisa memberikan banyak pembenaran atau
faktor yang mempengaruhi hasil kuesioner tersebut, namun kuesioner tetaplah
kuesioner. Apapun hasilnya, ada hal yang harus berubah di kampus ITB terutama
dalam dunia kemahasiswaannya. Bagaimana bisa kampus Teknologi terfavorit di
Indonesia ini malah punya ketertarikan yang rendah terhadap masalah IPTEK?
Padahal kita bisa memberikan rasa baru dalam pergerakan mahasiswa jika saja
kita mau membumbuinya dengan IPTEK.
Mungkin
saja demografi kampus ini juga menggambarkan demografi Indonesia dari Sabang
sampai Merauke. Punya ketertarikan yang sama rendahnya terhadap masalah IPTEK.
Mari sedikit kita soroti kondisi mahasiswa dan anak-anak muda Indonesia
sekarang. Setiap gerak gerik mahasiswa dan anak-anak muda hari ini, membuatku
sampai pada kesimpulan bahwa kita sedang tertinggal 10-20 tahun dibelakang
negara maju. Tertinggal karena kita baru ada dalam fasa “meremehkan IPTEK”.
Bukan berarti tidak mengenal, tapi meremehkan IPTEK. Mudahnya saja kita liat
penggunaan internet. Untuk orang Indonesia, internet hanyalah sebatas alat
untuk update media sosial dan foto2 saja. Padahal kita bisa menggunakan
internet sebagai media belajar tentang beragam hal. Berapa banyak coba remaja
tanggung Indonesia yang update status: "Susah pisan ini ujian" ato
"Duuch,, Besyok udjian tapi catetannya kosong nih". Kenapa ga buka
youtube cari tutor pelajaran terkait?
Kondisi
remeh ini dulu juga pernah kejadian di negara maju. Seperti pada tahun 1899 di
Amerika, Charles Duell, komisioner Kantor Paten mengatakan “Semua yang harus
ditemukan, sudah ditemukan”. Mentalitas ini yang sangat-sangat menghambat
perkembangan teknologi. Bahkan seringkali mentalitas seperti ini datang dari
ahli di bidangnya. Lalu pada tahun 1927, Harry Warner salah seorang pendiri
Warner Brothers mengatakan “Siapa pula yang mau denger aktor ngomong?” Di tahun
1943 muncul lagi pernyataan Thomas Watson, Chairman IBM, “Saya pikir terdapat
pasar di dunia untuk lima komputer saja”. Dengan pesimisnya dia berpikir bahwa
pasar dunia hanya akan butuh lima komputer.
Sikap
remeh ini juga dimiliki oleh beberapa media publik yang memberikan pengaruh
terhadap pola pikir masyarakat. Pada tahun 1903 tepat seminggu sebelum
Wright bersaudara menerbangkan pesawat mereka, New York Times menulis “Mesin
terbang hanyalah membuang waktu”. 17 tahun kemudian, Times melakukan kesalahan
yang sama dengan mengkritisi ilmuwan Roket, Robert Goddard. Menurut Times,
Goddard melakukan pekerjaan yang sia-sia, Roket tidak bisa bekerja dalam
keadaan vakum. 49 tahun kemudian ketika Apollo berhasil meninggalkan jejaknya
di bulan, Times dipaksa memberikan pernyataan maaf karena telah melakukan
kesalahan.
Sekarang
coba kita lihat komplikasinya di Indonesia. Di negara kita sains dan profesi
yang berkaitan seperti tidak ada harganya. Apalagi dengan hasil penemuan orang
Indonesia. Kita selalu mengatakan orang Indonesia tidak mampu, padahal banyak
lembaga penelitian asing yang mau melakukan apa saja agar ilmuwan Indonesia
tidak meninggalkan mereka. Disisi lain banyak sekali mahasiswa kuliah masih
dengan mindset bekerja bukan berkarya, dimana pada akhirnya mereka akan
menghabiskan waktu lebih dari separuh hidup mereka, bekerja.
Sekarang
mari kita tes pengetahuan kita tentang produk IPTEK Indonesia. Apakah anda
familiar dengan kereta Maglev (Magnetic Levitation)? Atau pepaya California?
Film Ipin dan Upin? Kalau teknologi 4G? Kita mampu, mampu sekali! Tetapi dimana
dukungan terhadap perkembangan IPTEK Nasional? Dimana semangat berinovasi mahasiswa
ITB? (Kemudian hening, tidak ada yang bersuara).
Kawan,
jawaban dari pertanyaan ini akan berpengaruh pada sejarah Indonesia yang kelak
akan kita tulis.