IPTEK sebagai Pilar Pembangunan
Mari kita mulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan, apa sebenarnya yang menjadi kelebihan Indonesia kita hari ini? Komoditas? Sumber Daya Manusia?
Menurut Lester Thurow, dekan MIT’s Sloan School of Management, akan terjadi pergeseran kekayaan dari negara-negara dengan pendapatan yang berasal dari sumber daya alam. Di abad ke-21, kekuatan otak, imajinasi, inovasi, pengetahuan dan teknologi akan menjadi kunci strategis kemakmuran suatu negara. Hal ini terjadi karena di masa yang akan datang komoditas akan menjadi semakin murah, perdagangan akan semakin global dan pasar akan saling terhubung melalui media elektronik. Ditambah lagi perkembangan teknologi dalam 4 stage of technology (akan saya jelaskan belakangan). Diantara tahun 1970 sampai 1990 sendiri sudah terjadi pengurangan harga-harga berbagai sumber daya alam sampai dengan 60%. Thurow sendiri memprediksi pengurangan harga sebesar 60% tersebut akan terjadi lagi pada tahun 2020.
Tak heran jika IPTEK pun menjadi salah satu pilar utama pembangunan seperti yang tertulis pada kebijakan strategis Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Tanpa pengembangan IPTEK yang matang, kita masih hanya akan menjadi mainan negara-negara maju. Apalagi melihat globalisasi yang sudah di depan mata. Maka seberapa penting IPTEK bagi Indonesia? Sepenting Proklamasi oleh Bung Karno di Menteng dulu. Remehkan IPTEK, maka kita telah menghilangkan makna dari Proklamasi Kemerdekaan bangsa ini. Beneran, serius gua. Pendapatan negara semakin lama semakin kecil, cuma punya sumber daya mentah doang untuk dijual keluar.
Keadaan IPTEK Bangsa Indonesia Hari Ini
Salah satu faktor dalam indeks daya saing suatu negara adalah indeks kesiapan teknologi (WEF, 2013). Indeks ini diperoleh dengan banyak sekali parameter penilaian seperti kebijakan suatu negara, besarnya APB yang dicurahkan untuk ristek dan sebagainya. Jangkauan dari indeks ini sendiri mulai dari 1-7, dimana 7 menunjukkan kesiapan yang terbaik. Pada tahun 2013-2014, Indonesia mampu mencapai indeks kesiapan teknologi 3,66. Waah lebih dari 3,5. Tapi jangan senang dulu, karena negara kita berada pada peringkat 75 dunia. Jika dilihat dari tahun sebelumnya pun kita mengalami penurunan.
Parameter lain yang menjadi penilaian adalah indeks inovasi. Indeks inovasi Indonesia pada tahun 2013-2014 mencapai 3,82. Indeks ini cukup untuk mendongkrak Indonesia pada peringkat 33 dunia dalam indeks inovasi. Sama seperti indeks kesiapan teknologi, indeks inovasi inipun bersifat naik-turun terhadap negara lain jika melihat kurun waktu 5 tahun belakangan.
Dalam sumberdaya IPTEK, Indonesia memiliki investasi IPTEK nasional sebesar 0,08% PDB serta jumlah peneliti per 1 juta penduduk sebesar 518 peneliti. Namun demikian, Indonesia masih sangat lemah jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Dengan kata lain IPTEK di Indonesia masih belum menjadi hal penting seperti di negara lain.
Produktivitas IPTEK Indonesia pun selaras dengan sumberdaya manusia yang dimiliki, masih sangat rendah. Di ASEAN saja kita hanya menduduki peringkat empat dengan selisih jurnal per tahun yang cukup besar dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Padahal penelitian tanpa jurnal ibarat lulus tanpa ijazah. Kita tidak punya bukti tertulis yang menyatakan kita telah melalui proses pendidikan ataupun penelitian.
Kesemua hal tersebut berujung pada kegagalan meningkatkan nilai tambah produk. Sehingga mengakibatkan Indonesia berada dalam Middle Income Trap. Pada tahun 1990, Indonesia masuk ke dalam golongan negara dengan pendapatan menengah ke bawah atau lower-middle income country. Sampai sekarang bahkan kita belum masuk ke dalam golongan negara dengan pendapatan menengah ke atas atau upper-middle income country.
Masuk ke dalam middle income trap berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang berada dalam kondisi stagnan, karena kita masih belum mampu untuk tumbuh menjadi negara maju. Faktanya dari 101 negara yang pada tahun 1960 tergolong ke dalam negara berpendapatan menengah, hanya ada 13 negara yang berhasil lepas dari jebakan tersebut. Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut lahir dari perlambatan pertumbuhan produktivitas. Ini erat sekali kaitannya terhadap kemampuan daya saing Indonesia terhadap negara lain, yaitu negara dengan pendapatan rendah dan tinggi. Persaingan dengan negara berpenpatan rendah merupakan persaingan kuantitas sdm dengan upah rendah yang bisa diberikan untuk industri. Sedangkan dengan negara maju merupakan persaingan menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, buah inovasi dan teknologi.
Untuk keluar dari middle income trap, maka mari kita bandingkan diri dengan negara maju agar kita bisa bersaing. Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, negara maju menghasilkan produk yang merupakan hasil inovasi dan teknologi. Pemanfaatan teknologi untuk produk yang mereka hasilkan memperhatikan sekali tiga faktor ini: kesiapan pengguna teknologi, kesiapan teknologi dan yang terakhir adalah efektivitas komunikasi dan intermediasi penyedia dan pengguna teknologi. Negera maju sangat memperhatikan ketiga faktor tersebut. Salah satu kunci yang sangat erat dengan kehidupan mahasiswa adalah integrasi antara lembaga riset dengan industri.
Di Jerman, investasi yang dilakukan pada proses riset 66% berasal dari industri, 4% dari luar negeri sedangkan 30% sisanya berasal dari negara. Ini cukup berbeda dengan yang kondisi negara kita. Selain dari persentase, jumlah dari dana yang dikucurkan untuk perkembangan IPTEK sendiri sangat kecil. Kecenderungan industri dalam negeri sendiri adalah untuk mengadopsi teknologi dari luar negeri, tanpa memperhatikan kualitas teknologi yang dihasilkan anak bangsa. Proses riset ini sendiri bisa dijalankan oleh beberapa lembaga seperti lembaga litbang dan yang paling penting tentu dilakukan oleh lembaga pendidikan. Disinilah peran mahasiswa diperlukan sebagai salah satu sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk meningkatkan daya saing teknologi nasional.
Mahasiswa sebagai motor utama penelitian dari lembaga pendidikan sudah seharusnya terhubungan dengan industri nasional. Apa yang terjadi jika ternyata motor tersebut ternyata tidak banyak bekerja seperti yang seharusnya? Bukan hanya masa kini dari IPTEK Indonesia, tetapi juga masa depan bangsa ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan kehancuran IPTEK nasional berujung pada kehancuran-kehancuran yang lain. Bagi saya, IPTEK sudah tentu bukan melulu soal akademik, namun juga pola pikir dan bidang gerakan mahasiswa.
Lantas ketika kita hanya menjadi seorang mahasiswa apakah kontribusi IPTEK sepenting itu memungkinkan? Ketika Ilmuwan-ilmuwan dan insinyur-insinyur senior kita saja tak lagi mampu menghasilkan kontribusi yang signifikan pada IPTEK, apa kita mahasiswa mampu? Bisa tentu bisa. Usia mahasiswa merupakan umur dimana manusia sedang berada pada tahap paling kreatif (Ada penelitiannya, tapi saya lupa sumbernya). Maka banyak penemuan baru serta teori-teori yang dianggap gila lahir dari orang-orang dengan rentang usia mahasiswa seperti kita ini. Sebut saja Isaac Newton. Pada tahun 1664-1666, Newton menggoncang dunia dengan tiga penemuan paling penting yang tanpanya peradaban kita takkan maju. Tiga penemuan itu merupakan kalkulus, hukum gravitasi umum dan spektrum cahaya putih. Dua tahun itu penting sekali bagi dunia dan bagi Newton. Oh, aku lupa bilang, Newton lahir pada tanggal 25 Desember 1643. Kemudian ada juga Einstein yang mempublikasikan paper tentang relativitas ketika ia berusia 26 tahun. Bayangkan saja, dia seumuran Abah ketika mengubah dunia men!
Sebuah kesalahan besar jika kita meremehkan potensi kita sendiri sebagai mahasiswa dalam bidang IPTEK. Berikutnya sekarang tinggal masalah kemauan dan ketertarikan. Fakta berikutnya dari kuesioner yang telah disebar sebelum Kabinet ini naik menunjukkan bahwa ketertarikan mahasiswa ITB terhadap IPTEK berada di posisi terakhir ketimbang masalah Kaderisasi, Sosial Politik, Pengabdian Masyarakat dan Advokasi. Kita bisa memberikan banyak pembenaran atau faktor yang mempengaruhi hasil kuesioner tersebut, namun kuesioner tetaplah kuesioner. Apapun hasilnya, ada hal yang harus berubah di kampus ITB terutama dalam dunia kemahasiswaannya. Bagaimana bisa kampus Teknologi terfavorit di Indonesia ini malah punya ketertarikan yang rendah terhadap masalah IPTEK? Padahal kita bisa memberikan rasa baru dalam pergerakan mahasiswa jika saja kita mau membumbuinya dengan IPTEK.
Mungkin saja demografi kampus ini juga menggambarkan demografi Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Punya ketertarikan yang sama rendahnya terhadap masalah IPTEK. Mari sedikit kita soroti kondisi mahasiswa dan anak-anak muda Indonesia sekarang. Setiap gerak gerik mahasiswa dan anak-anak muda hari ini, membuatku sampai pada kesimpulan bahwa kita sedang tertinggal 10-20 tahun dibelakang negara maju. Tertinggal karena kita baru ada dalam fasa “meremehkan IPTEK”. Bukan berarti tidak mengenal, tapi meremehkan IPTEK. Mudahnya saja kita liat penggunaan internet. Untuk orang Indonesia, internet hanyalah sebatas alat untuk update media sosial dan foto2 saja. Padahal kita bisa menggunakan internet sebagai media belajar tentang beragam hal. Berapa banyak coba remaja tanggung Indonesia yang update status: "Susah pisan ini ujian" ato "Duuch,, Besyok udjian tapi catetannya kosong nih". Kenapa ga buka youtube cari tutor pelajaran terkait?
Kondisi remeh ini dulu juga pernah kejadian di negara maju. Seperti pada tahun 1899 di Amerika, Charles Duell, komisioner Kantor Paten mengatakan “Semua yang harus ditemukan, sudah ditemukan”. Mentalitas ini yang sangat-sangat menghambat perkembangan teknologi. Bahkan seringkali mentalitas seperti ini datang dari ahli di bidangnya. Lalu pada tahun 1927, Harry Warner salah seorang pendiri Warner Brothers mengatakan “Siapa pula yang mau denger aktor ngomong?” Di tahun 1943 muncul lagi pernyataan Thomas Watson, Chairman IBM, “Saya pikir terdapat pasar di dunia untuk lima komputer saja”. Dengan pesimisnya dia berpikir bahwa pasar dunia hanya akan butuh lima komputer.
Sikap remeh ini juga dimiliki oleh beberapa media publik yang memberikan pengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Pada tahun 1903 tepat seminggu sebelum Wright bersaudara menerbangkan pesawat mereka, New York Times menulis “Mesin terbang hanyalah membuang waktu”. 17 tahun kemudian, Times melakukan kesalahan yang sama dengan mengkritisi ilmuwan Roket, Robert Goddard. Menurut Times, Goddard melakukan pekerjaan yang sia-sia, Roket tidak bisa bekerja dalam keadaan vakum. 49 tahun kemudian ketika Apollo berhasil meninggalkan jejaknya di bulan, Times dipaksa memberikan pernyataan maaf karena telah melakukan kesalahan.
Sekarang coba kita lihat komplikasinya di Indonesia. Di negara kita sains dan profesi yang berkaitan seperti tidak ada harganya. Apalagi dengan hasil penemuan orang Indonesia. Kita selalu mengatakan orang Indonesia tidak mampu, padahal banyak lembaga penelitian asing yang mau melakukan apa saja agar ilmuwan Indonesia tidak meninggalkan mereka. Disisi lain banyak sekali mahasiswa kuliah masih dengan mindset bekerja bukan berkarya, dimana pada akhirnya mereka akan menghabiskan waktu lebih dari separuh hidup mereka, bekerja.
Sekarang mari kita tes pengetahuan kita tentang produk IPTEK Indonesia. Apakah anda familiar dengan kereta Maglev (Magnetic Levitation)? Atau pepaya California? Film Ipin dan Upin? Kalau teknologi 4G? Kita mampu, mampu sekali! Tetapi dimana dukungan terhadap perkembangan IPTEK Nasional? Dimana semangat berinovasi mahasiswa ITB? (Kemudian hening, tidak ada yang bersuara).
Kawan, jawaban dari pertanyaan ini akan berpengaruh pada sejarah Indonesia yang kelak akan kita tulis.
4 stage of tech dan caveman principle
Setelah sadar akan kondisi IPTEK bangsa dan jika anda tergerak untuk mengembangkannya,baca dulu nih cerita tentang 4 stage of technology dan caveman principle. Kedua istilah ini penting untuk kita pahami dalam pengembangan IPTEK.
4 stage of technology berbicara tentang 4 tingkatan evolusi teknologi. Pada tingkat pertama, sebuah teknologi begitu berharga, bahkan sampai dijaga ketat agar tidak diketahui orang lain. Contohnya saja teknologi kertas yang kita kenal sekarang. Kertas pertama kali ditemukan di Mesir dalam bentuk Papyrus. Gulungan papyrus ini begitu berharga sampai satu gulungan saja dijaga oleh beberapa orang pendeta Mesir.
Pada tingkat yang kedua sekitar tahun 1450, ditemukan alat cetak oleh Gutenberg yang memungkinkan seseorang memiliki pengetahuan dari beberapa ratus gulungan tulisan dengan cepat. Sebelum penemuan Gutenberg, hanya terdapat 30.000 buku diseluruh Eropa. Sedangkan setelah penemuan Gutenberg, terdapat sekitar 9 juta buku. Namun pada tingkat kedua ini, teknologi tersebut masih mahal dan eksklusif untuk beberapa orang tertentu. Sebagian besar dari 9 juta buku tersebut dimiliki hanya oleh akademi dan universitas tertentu saja.
Masuk ketingkat ketiga pada tahun 1930, harga kertas menjadi sangat murah. Kertas dijual secara grosir dan besar-besaran. Kertas ada dimana-mana dan mudah ditemukan. Semua orang dapat memiliki kertas dengan harga yang murah. Sekarang, kertas sudah sampai pada tingkat keempat. Kita dapat menemukan kertas dengan beragam variasi warna, bentuk, bahan dan ukuran. Kertas menjadi kebutuhan dasar untuk beragam hal. Mulai dari untuk kepentingan akademik sampai dekorasi acara ulang tahun. Faktanya salah satu sampah terbanyak yang dihasilkan oleh kota-kota besar adalah kertas.
Sedikit mengulang dan menjelaskan, 4 stage of technology dibagi menjadi:
- Stage 1 (Teknologi berharga dan dirahasiakan keberadaannya dan biasanya dimiliki satu lembaga tertentu saja)
- Stage 2 (Teknologi menjadi lebih murah, bisa dimiliki secara personal untuk orang-orang tertentu/ekslusif)
- Stage 3 (Teknologi menjadi murah dan dapat ditemukan dimana saja, semua orang dapat memilikinya)
- Stage 4 (Teknologi menjadi jauh lebih murah dan menjadi kebutuhan dasar. Bahkan sampai terbuang sia-sia)
Dalam pengembangan teknologi kita selalu memiliki pilihan tingkatan teknologi yang mana yang ingin kita teliti. Kematangan suatu teknologi menunjukkan di tingkat berapa teknologi tersebut berada. Semakin matang maka teknologi tersebut semakin mudah diperoleh masyarakat.
Caveman principle sendiri merupakan sifat manusia yang secara genetik ada. Prinsip ini sudah ada semenjak 100.000 tahun yang lalu, Homo sapiens pertama diperkirakan hidup. Ya, Homo sapiens yang ada 100.000 tahun yang lalu itu pada umumnya masih sama dengan Homo sapiens masa kini secara genetik. Contoh dari caveman principle sendiri misalkan leluhur kita jaman dulu selalu membutuhkan “Bukti hasil berburu”. Tidak ada gunanya leluhur kita bercerita tentang mammoth berukuran sangat besar tanpa bisa membawa bangkai mammoth besar tersebut. Leluhur kita berkomunikasi tatap muka secara langsung. Itulah sebabnya rapat online tidak akan pernah berhasil menggantikan rapat secara langsung. Begitu juga jika kita ingin ngobrol dengan teman kita. Pasti kita lebih memilih bertemu langsung ketimbang sekedar menelpon dan sms. Itulah penyebabnya walaupun sudah ada televisi tetapi konser dan theater masih laku. Walaupun sudah ada tablet untuk membaca buku elektronik tetapi buku fisik masih saja laku. Manusia memang pada umumnya punya kecenderungan untuk memiliki keduanya. Namun jika manusia dihadapkan pada dua pilihan antara high tech atau high touch, manusia pasti akan memilihhigh touch.
Perkembangan teknologi harus memperhatikan kedua hal tersebut. Apalagi ketika berbicara tentang daya saing Indonesia di mata insan-insan teknologi dunia.Karena kedua hal tersebut erat hubungannya dengan kebutuhan pasar masyarakat global.
Ciri khas teknologi tersendiri.
Mari kita melihat kebijakan riset dan teknologi dari Jepang. Seperti yang kita ketahui, Jepang tidaklah dibangun dalam waktu sehari (itu mah roma). Perkembangan riset dan teknologi serta daya saing Jepang juga punya masa-masa kegelapan. Kebangkitan Riset dan Teknologi Jepang dimulai dengan kebijakan yang dibuat pada tahun 1995 yang disusul perencanaan strategis per lima tahun dimulai pada periode 1996-2000. Isi dari perencanaan strategis periode awal itu sendiri berisi tentang:
- Penguatan hubungan antara industri, universitas dan lembaga riset pemerintah
- Promosi terhadap perusahaan baru yang berbasis teknologi atau ide dari universitas dan lembaga riset.
- Peningkatan dukungan untuk ilmuwan muda dengan meningkatkan jumlah beasiswa S-2 dan S-3
- Memberikan kemudahan bagi ilmuwan untuk menjalankan profesinya
- Mengadakan lebih banyak kompetisi yang berkaitan dengan dana riset
- Peningkatan sumber daya yang diberikan pemerintah dalam riset dan teknologi.
Pada periode 2001-2005, selain perencanaan strategis diatas, juga ditambahkan empat bidang prioritas utama beserta empat bidang prioritas kedua. Perencanaan ini menjadi koridor untuk persiapan serta disribusi pembagian sumberdaya riset dan teknologi nasional Jepang.
Keempat bidang prioritas utama tersebut adalah: life sciences, information and communication, environment, and nanotechnology/material. Sedangkan empat bidang prioritas kedua adalah: energy, manufacturing technology, social infrastructure dan frontiers (space and oceans). Bidang prioritas utama menelan 45% dari dana Ristek Nasional, sedangkan bidang prioritas kedua menelan 38%.
Dengan demikian dalam tahun-tahun kedepan, kita akan melihat Jepang memiliki ciri khas tersendiri dalam bidang-bidang tersebut. Perencanaan seperti inilah yang dibutuhkan Indonesia. Karena tidak semua bidang sesuai dengan sumber daya yang dimiliki oleh bangsa kita. Sehingga pada akhirnya kita harus membuat prioritas tersebut.
Indonesia sendiri sudah memiliki beberapa bidang prioritas riset yaitu:
Pangan
Kesehatan dan Obat
Energi
Infrastruktur
Material maju
Sistem Teknologi dan Informasi
Apa yang bisa dilakukan sebagai mahasiswa?
Seperti telah disebutkan sebelumnya, salah satu parameter penting dalam perkembangan IPTEK adalah integrasi antara universitas, lembaga penelitian dan industri. Di negara maju seperti Jerman saja, salah satu penyumbang terbesar dana riset adalah industri. Selain integrasi tersebut, perlu diketahui mahasiswa memiliki potensi yang besar juga dalam bidang IPTEK.
Kita bisa berkontribusi terhadap dunia sains dan perkembangan IPTEK Indonesia! Apa saja yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi? Yang pertama, belajar dengan semangat danpassion (ya iyalah). Kemudian kita bisa dengan konstan menantang setiap ilmu-ilmu yang telah kita pelajari kedalam aplikasi nyata atau dengan kata lain melakukan riset. Salah satu senjata utama mahasiswa yang tidak dimiliki oleh ilmuwan senior adalah kreativitas. Itulah mengapa ide-ide liar para ilmuwan rata-rata datang di usia muda. Di usia yang sudah lebih tua, kebanyakan manusia menjadi semakin pesimis dan satir, konservatif. Inilah yang menjadi jangkar tersendiri bagi perahu imajinasi ilmuwan senior. Maka disinilah seharusnya kita sebagai mahasiswa memaksimalkan potensi kita. Sebelum perahu imajinasi kita semakin sulit bergerak.
Salah satu contohnya adalah kisah hidup Albert Einstein. Seperti yang kita tahu, relativitas bisa disebut sebagai ‘holy grail’ dunia fisika. Relativitas lahir dari imajinasi luar biasa seorang Einstein. Tapi Einstein di usia yang memasuki umur 48 tahun pada konferensi Solvay 1927, menentang dengan keras ide dasar fisika kuantum. Bahkan ia berdebat siang dan malam dengan Niels Bohr. Ada sesuatu tentang imajinasinya yang menolak keberadaan fisika kuantum. Beliau menolak unsur probabilitas dalam mekanika kuantum. Sedangkan usahanya untuk menemukan ‘theory of everything’ juga menemui kegagalan. Setelah itu Einstein tak lagi produktif dalam dunia fisika. Keyakinan Einstein yang menolak keberadaan Fisika Kuantum dan ketidakberdayaannya membantah Niels Bohr, bertahan sampai akhir hayatnya.
Mimpi, tantangan dan tanya
Sesudah kita paham tentang urgensi dan apa yang bisa kita lakukan,kita juga perlu tahu bahwa berbicara tentang IPTEK di Indonesia sulit sekali untuk melepaskan diri dari jeratPolitical Will. Di negara ini, sapi dan tongkat golf pun dipolitisasi. Mau kemampuan IPTEK kita secanggih apapun, tanpa political will yang tepat dan dalam porsi yang tepat semua hanya mimpi. Sama seperti keinginan kita untuk merdeka dan mandiri.
Indonesia terus berlari dari tangan-tangan biadab yang ingin mencuri. Mencuri kekayaan alam dari Indonesia. Pada akhirnya sampailah kita pada sebuah ujung dari itu semua. Barangkali juga ujung bagi bangsa ini. Dinding-dinding peradaban menahan laju kita. Menatap dengan tawa dan hinaan yang menyakitkan. Dengan kesal kita menghantamnya, namun momentum merusak kepalan tangan kita. Kita tau kita tak bisa melawannya, karena kita lemah. Kita tak bisa melawan, karena tak pernah melatih diri untuk menghancurkan tembok-tembok tersebut. Tangan-tangan biadab itupun menjadi kian dekat. Tidak ada yang menjanjikan tanah penuh madu dibalik tembok peradaban. Tapi lebih baik berlari melewati tembok tersebut sebagai satu bangsa yang merdeka, ketimbang melewatinya diseret-seret oleh tangan-tangan tersebut. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memilih. Apa anda, saya, kita akan menyerah? Justru karena kita tahu kita lemah, sekarang kita punya alasan untuk menjadi kuat.
Seperti yang pernah dikatakan Eisenhower dulu, “Pesimisme tidak pernah memenangkan perang”. Perang kita sekarang adalah terhadap kebodohan dan penjajahan intelektual. Agar kelak anak-anak bangsa mampu bersaing di pasar global. Kita tidak boleh pesimis. Mulai dari kampus kita, menuju Indonesia. Di suatu hari di masa depan.
69 tahun lalu di depan Istana Bogor, Bung Hatta bertanya pada Bung Karno. Jika kelak kita merdeka nanti, apa bung yakin kita akan mampu mengelola bangsa ini? Apa bung yakin kita akan mampu memimpin 70 juta rakyat Indonesia? Apa bung yakin kita dapat hidup sejahtera? Lalu Bung Karno menjawab Yakin bung! 100% yakin! Kita percayakan anak cucu kita nanti untuk mengelolanya. Jika ternyata saya salah, biar sejarah yang membersihkan nama kita.
Karena kita sudah merdeka dan waktu mereka telah lalu, tibalah pertanyaan yang sama menghampiri anda dan saya. Apa anda yakin, kita mampu bung? Mari kita tulis sejarah Indonesia yang baru. Semoga kelak sejarah yang baru itu tak lagi berbicara tentang kemiskinan dan sengsara namun kemerdekaan dan kesejahteraan.
Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater.
Steve Yudea
102.10.052
Menteri Riset dan Teknologi
Kabinet Seru KM-ITB 2014/2015
Referensi
[1] Isaacson, Walter. 2008. Einstein: His Life and Universe. London: Pocket Books.
[2] Kaku, Michio. 1998. Visions: How Science Will Revolutionize the 21st Century. New York: Anchor Books.
[3] Kaku, Michio. 2011. Physics of the Future: How Science Will Shape Human Destiny and Our Daily Lives by the Year 2100. New York: Doubleday.
[4] Kartika, Sweta, 2014. Nusantaranger. (comic.Nusantaranger.com/, diakses pada tanggal 23 September 2014)
[5] Kemenristek RI, 2014. Draft (4) Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2014-2019.(http://www.ristek.go.id/file/upload/Draft_Jakstranas_Iptek_2015-2019_(Draft%204)-20140401.pdf., diakses tanggal 23 September 2014).
[6] McRae, Hamish. 1995. The World in 2020: Power, Culture, and Prospertity. Cambridge, MA: Harvard Business School.
[7] OECD, 2012. Science and Innovation: Germany, [pdf]. (www.oecd.org/germany/sti-outlook-2012-germany.pdf, diakses tanggal 23 September 2014)
[8] Pragiwaksono, Pandji. 2014. Indiepreneur: Berkarya dan Merdesa. Jakarta: WYSDN.
[9] Stenberg, Lennart. 2004. Government Research and Innovation Policies in Japan. Stockholm: ITPS.