5.26.2015

[ESSAY] First Ever Essay



Here is my first essay. This essay was used to apply for Education USA Mentorship Program a few months ago. If you have anything in your mind, please do put a comment. Thanks a lot :)






My greatest inquietude came from the agrarian history of my people. Reading newspaper as a child, I found an aggravating fact about Indonesian rubber plantation farmer. They spend most of their time on the plantation only for a few dollars. Everything happened because of the material they produce worth almost nothing. The future itself never sides to them. In a globalized world, where trades become much easier and natural resources become cheaper, there is no place for a low-tech producing country like Indonesia. Let alone the live of Indonesian rubber plantation farmers. Premonitions wash my head as if I did nothing, their sweat would become blood.
On another timeline, I fell in love with physics. The first time I learn physics, suddenly everything becomes very interesting. The grace of a pendulum dancing through the choreography of physics is fascinating. The beauty of a light spectrum projected as a rainbow. That minute I knew, I would love to do physics to help my people grow.
Looking back into my recent studies in department of physics, I enthusiast in material science and engineering especially in nanocomposite polymer. I wanted to finish postgraduate studies in material science. I believe U.S. provides the best teacher, the best research facilities and the best research divisions in material science anywhere in the world. The need to study postgraduate is because I wanted to pursue my passion in material science. Becoming an expert in the field would help my people to develop their products. I do not think undergraduate studies alone adequate. It will also encourage more of my people to pursue studies in U.S.

The day I finish my studies in U.S., I would like to do a job in research and development division prior to my studies. In 3 years, I would start building my own company before moving back to Indonesia. I have faith that I could continue on building the company in Indonesia. So this would be the dawn of nanocomposite rubber industries in Indonesia. In long term, I would like to get my hands on the Indonesian ministry of Science and Technology. In the future, I wanted to be the Indonesian Minister of Science and Technology. I want to be a good role model in science and technology, giving an example leadership to my people. There is no better place for me to follow my dreams other than U.S.

5.22.2015

Puisi Kontemporer: Cinta

CINTA
CINTa CINtA
CINta CInTa CIntA
CInta CiNta CinTa CintA
Cinta cInta ciNta cinTa cintA


Cinta ditulis bagaimanapun atau disebutkan dalam bahasa manapun ga pernah akan sama dengan cinta yang ditunjukkan dengan tindakan.
Cinta yang sejati muncul bukan pada perkataan, bukan pada pikiran atau bayangan. Tapi cinta sejati muncul dari sebuah tindakkan
.


Pada Senyum yang Tak Pernah Ada

Kak
Ibu dan ayah lirih
Hanya ada aku
Dan kau pergi
Tanpa Kata

Kak
Disini bising
Akan kefana'an

Manusia berlari
Tak tentu arah
Mencari kesempurnaan palsu

Kak
Hidup tak begitu indah
Kedalaman hati
Yang tak satu setanpun tahu
Sepi, sendiri dan tidak dimengerti

Kak
Hidupku rendah
Membebani Ibu dan Ayah

Hidupku penuh kecurigaan
Hidupku penuh kebohongan
Hidupku penuh ketakutan
Hidupku penuh kemunafikan

Kak
Apa kau baik disana?

Aku rindu bersamamu
Di dunia kita
Dunia satu bahasa
Bahasa cinta Ibu pada anak-anaknya
Bahagia
Tanpa batas

Itu telah berlalu
Kau pergi tanpa jejak

Kak
Bertemukah engkau dengan Tuhan?

Tanyakan pada-Nya
Mengapa engkau yang pergi
Tanyakan
Mengapa aku yang tak pantas
Yang memiliki hidup

Kak
Apa kau kecewa padaku?
Seperti Ibu dan Ayah kecewa padaku
Apa Tuhan juga kecewa padaku?

Pada kenyataannya
Aku manusia itu
Yang tak tentu arah

Dan setelah 17 tahun ini
Lihatlah ke langit luas
Aku tak pernah menanam apa-apa
Aku tak akan kehilangan apa-apa

Kak
Kelak
Aku akan segera melihat senyum mu


4.24.2015

Memaknai Riset dan Teknologi

IPTEK sebagai Pilar Pembangunan
Mari kita mulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan, apa sebenarnya yang menjadi kelebihan Indonesia kita hari ini? Komoditas? Sumber Daya Manusia?

Menurut Lester Thurow, dekan MIT’s Sloan School of Management, akan terjadi pergeseran kekayaan dari negara-negara dengan pendapatan yang berasal dari sumber daya alam. Di abad ke-21, kekuatan otak, imajinasi, inovasi, pengetahuan dan teknologi akan menjadi kunci strategis kemakmuran suatu negara. Hal ini terjadi karena di masa yang akan datang  komoditas akan menjadi semakin murah, perdagangan akan semakin global dan pasar akan saling terhubung melalui media elektronik. Ditambah lagi perkembangan teknologi dalam 4 stage of technology (akan saya jelaskan belakangan). Diantara tahun 1970 sampai 1990 sendiri sudah terjadi pengurangan harga-harga berbagai sumber daya alam sampai dengan 60%. Thurow sendiri memprediksi pengurangan harga sebesar 60% tersebut akan terjadi lagi pada tahun 2020.

Tak heran jika IPTEK pun menjadi salah satu pilar utama pembangunan seperti yang tertulis pada kebijakan strategis Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Tanpa pengembangan IPTEK yang matang, kita masih hanya akan menjadi mainan negara-negara maju. Apalagi melihat globalisasi yang sudah di depan mata. Maka seberapa penting IPTEK bagi Indonesia? Sepenting Proklamasi oleh Bung Karno di Menteng dulu. Remehkan IPTEK, maka kita telah menghilangkan makna dari Proklamasi Kemerdekaan bangsa ini. Beneran, serius gua. Pendapatan negara semakin lama semakin kecil, cuma punya sumber daya mentah doang untuk dijual keluar.

Keadaan IPTEK Bangsa Indonesia Hari Ini
Salah satu faktor dalam indeks daya saing suatu negara adalah indeks kesiapan teknologi (WEF, 2013). Indeks ini diperoleh dengan banyak sekali parameter penilaian seperti kebijakan suatu negara, besarnya APB yang dicurahkan untuk ristek dan sebagainya. Jangkauan dari indeks ini sendiri mulai dari 1-7, dimana 7 menunjukkan kesiapan yang terbaik. Pada tahun 2013-2014, Indonesia mampu mencapai indeks kesiapan teknologi 3,66. Waah lebih dari 3,5. Tapi jangan senang dulu, karena negara kita berada pada peringkat 75 dunia. Jika dilihat dari tahun sebelumnya pun kita mengalami penurunan. 


Parameter lain yang menjadi penilaian adalah indeks inovasi. Indeks inovasi Indonesia pada tahun 2013-2014 mencapai 3,82. Indeks ini cukup untuk mendongkrak Indonesia pada peringkat 33 dunia dalam indeks inovasi. Sama seperti indeks kesiapan teknologi, indeks inovasi inipun bersifat naik-turun terhadap negara lain jika melihat kurun waktu 5 tahun belakangan.  


Dalam sumberdaya IPTEK, Indonesia memiliki investasi IPTEK nasional sebesar 0,08% PDB serta jumlah peneliti per 1 juta penduduk sebesar 518 peneliti. Namun demikian, Indonesia masih sangat lemah jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Dengan kata lain IPTEK di Indonesia masih belum menjadi hal penting seperti di negara lain.


Produktivitas IPTEK Indonesia pun selaras dengan sumberdaya manusia yang dimiliki, masih sangat rendah. Di ASEAN saja kita hanya menduduki peringkat empat dengan selisih jurnal per tahun yang cukup besar dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Padahal penelitian tanpa jurnal ibarat lulus tanpa ijazah. Kita tidak punya bukti tertulis yang menyatakan kita telah melalui proses pendidikan ataupun penelitian.


Kesemua hal tersebut berujung pada kegagalan meningkatkan nilai tambah produk. Sehingga mengakibatkan Indonesia berada dalam Middle Income Trap. Pada tahun 1990, Indonesia masuk ke dalam golongan negara dengan pendapatan menengah  ke bawah atau lower-middle income country. Sampai sekarang bahkan kita belum masuk ke dalam golongan negara dengan pendapatan menengah ke atas atau upper-middle income country.
Masuk ke dalam middle income trap berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang berada dalam kondisi stagnan, karena kita masih belum mampu untuk tumbuh menjadi negara maju. Faktanya dari 101 negara yang pada tahun 1960 tergolong ke dalam negara berpendapatan menengah, hanya ada 13 negara yang berhasil lepas dari jebakan tersebut. Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut lahir dari perlambatan pertumbuhan produktivitas. Ini erat sekali kaitannya terhadap kemampuan daya saing Indonesia terhadap negara lain, yaitu negara dengan pendapatan rendah dan tinggi. Persaingan dengan negara berpenpatan rendah merupakan persaingan kuantitas sdm dengan upah rendah yang bisa diberikan untuk industri. Sedangkan dengan negara maju merupakan persaingan menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, buah inovasi dan teknologi.


Untuk keluar dari middle income trap, maka mari kita bandingkan diri dengan negara maju agar kita bisa bersaing. Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, negara maju menghasilkan produk yang merupakan hasil inovasi dan teknologi. Pemanfaatan teknologi untuk produk yang mereka hasilkan memperhatikan sekali tiga faktor ini: kesiapan pengguna teknologi, kesiapan teknologi dan yang terakhir adalah efektivitas komunikasi dan intermediasi penyedia dan pengguna teknologi. Negera maju sangat memperhatikan ketiga faktor tersebut. Salah satu kunci yang sangat erat dengan kehidupan mahasiswa adalah integrasi antara lembaga riset dengan industri.

Di Jerman, investasi yang dilakukan pada proses riset 66% berasal dari industri, 4% dari luar negeri sedangkan 30% sisanya berasal dari negara. Ini cukup berbeda dengan yang kondisi negara kita. Selain dari persentase, jumlah dari dana yang dikucurkan untuk perkembangan IPTEK sendiri sangat kecil. Kecenderungan industri dalam negeri sendiri adalah untuk mengadopsi teknologi dari luar negeri, tanpa memperhatikan kualitas teknologi yang dihasilkan anak bangsa. Proses riset ini sendiri bisa dijalankan oleh beberapa lembaga seperti lembaga litbang dan yang paling penting tentu dilakukan oleh lembaga pendidikan. Disinilah peran mahasiswa diperlukan sebagai salah satu sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk meningkatkan daya saing teknologi nasional.

Mahasiswa sebagai motor utama penelitian dari lembaga pendidikan sudah seharusnya terhubungan dengan industri nasional. Apa yang terjadi jika ternyata motor tersebut ternyata tidak banyak bekerja seperti yang seharusnya? Bukan hanya masa kini dari IPTEK Indonesia, tetapi juga masa depan bangsa ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan kehancuran IPTEK nasional berujung pada kehancuran-kehancuran yang lain. Bagi saya, IPTEK sudah tentu bukan melulu soal akademik, namun juga pola pikir dan bidang gerakan mahasiswa.

Lantas ketika kita hanya menjadi seorang mahasiswa apakah kontribusi IPTEK sepenting itu memungkinkan? Ketika Ilmuwan-ilmuwan dan insinyur-insinyur senior kita saja tak lagi mampu menghasilkan kontribusi yang signifikan pada IPTEK, apa kita mahasiswa mampu? Bisa tentu bisa. Usia mahasiswa merupakan umur dimana manusia sedang berada pada tahap paling kreatif (Ada penelitiannya, tapi saya lupa sumbernya). Maka banyak penemuan baru serta teori-teori yang dianggap gila lahir dari orang-orang dengan rentang usia mahasiswa seperti kita ini. Sebut saja Isaac Newton. Pada tahun 1664-1666, Newton menggoncang dunia dengan tiga penemuan paling penting yang tanpanya peradaban kita takkan maju. Tiga penemuan itu merupakan kalkulus, hukum gravitasi umum dan spektrum cahaya putih. Dua tahun itu penting sekali bagi dunia dan bagi Newton. Oh, aku lupa bilang, Newton lahir pada tanggal 25 Desember 1643. Kemudian ada juga Einstein yang mempublikasikan paper tentang relativitas ketika ia berusia 26 tahun. Bayangkan saja, dia seumuran Abah ketika mengubah dunia men!

Sebuah kesalahan besar jika kita meremehkan potensi kita sendiri sebagai mahasiswa dalam bidang IPTEK. Berikutnya sekarang tinggal masalah kemauan dan ketertarikan. Fakta berikutnya dari kuesioner yang telah disebar sebelum Kabinet ini naik menunjukkan bahwa ketertarikan mahasiswa ITB terhadap IPTEK berada di posisi terakhir ketimbang masalah Kaderisasi, Sosial Politik, Pengabdian Masyarakat dan Advokasi. Kita bisa memberikan banyak pembenaran atau faktor yang mempengaruhi hasil kuesioner tersebut, namun kuesioner tetaplah kuesioner. Apapun hasilnya, ada hal yang harus berubah di kampus ITB terutama dalam dunia kemahasiswaannya. Bagaimana bisa kampus Teknologi terfavorit di Indonesia ini malah punya ketertarikan yang rendah terhadap masalah IPTEK? Padahal kita bisa memberikan rasa baru dalam pergerakan mahasiswa jika saja kita mau membumbuinya dengan IPTEK.

Mungkin saja demografi kampus ini juga menggambarkan demografi Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Punya ketertarikan yang sama rendahnya terhadap masalah IPTEK. Mari sedikit kita soroti kondisi mahasiswa dan anak-anak muda Indonesia sekarang. Setiap gerak gerik mahasiswa dan anak-anak muda hari ini, membuatku sampai pada kesimpulan bahwa kita sedang tertinggal 10-20 tahun dibelakang negara maju. Tertinggal karena kita baru ada dalam fasa “meremehkan IPTEK”. Bukan berarti tidak mengenal, tapi meremehkan IPTEK. Mudahnya saja kita liat penggunaan internet. Untuk orang Indonesia, internet hanyalah sebatas alat untuk update media sosial dan foto2 saja. Padahal kita bisa menggunakan internet sebagai media belajar tentang beragam hal. Berapa banyak coba remaja tanggung Indonesia yang update status: "Susah pisan ini ujian" ato "Duuch,, Besyok udjian tapi catetannya kosong nih". Kenapa ga buka youtube cari tutor pelajaran terkait?

Kondisi remeh ini dulu juga pernah kejadian di negara maju. Seperti pada tahun 1899 di Amerika, Charles Duell, komisioner Kantor Paten mengatakan “Semua yang harus ditemukan, sudah ditemukan”. Mentalitas ini yang sangat-sangat menghambat perkembangan teknologi. Bahkan seringkali mentalitas seperti ini datang dari ahli di bidangnya. Lalu pada tahun 1927, Harry Warner salah seorang pendiri Warner Brothers mengatakan “Siapa pula yang mau denger aktor ngomong?” Di tahun 1943 muncul lagi pernyataan Thomas Watson, Chairman IBM, “Saya pikir terdapat pasar di dunia untuk lima komputer saja”. Dengan pesimisnya dia berpikir bahwa pasar dunia hanya akan butuh lima komputer.

Sikap remeh ini juga dimiliki oleh beberapa media publik yang memberikan pengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Pada tahun 1903  tepat seminggu sebelum Wright bersaudara menerbangkan pesawat mereka, New York Times menulis “Mesin terbang hanyalah membuang waktu”. 17 tahun kemudian, Times melakukan kesalahan yang sama dengan mengkritisi ilmuwan Roket, Robert Goddard. Menurut Times, Goddard melakukan pekerjaan yang sia-sia,  Roket tidak bisa bekerja dalam keadaan vakum. 49 tahun kemudian ketika Apollo berhasil meninggalkan jejaknya di bulan, Times dipaksa memberikan pernyataan maaf karena telah melakukan kesalahan.

Sekarang coba kita lihat komplikasinya di Indonesia. Di negara kita sains dan profesi yang berkaitan seperti tidak ada harganya. Apalagi dengan hasil penemuan orang Indonesia. Kita selalu mengatakan orang Indonesia tidak mampu, padahal banyak lembaga penelitian asing yang mau melakukan apa saja agar ilmuwan Indonesia tidak meninggalkan mereka. Disisi lain banyak sekali mahasiswa kuliah masih dengan mindset bekerja bukan berkarya, dimana pada akhirnya mereka akan menghabiskan waktu lebih dari separuh hidup mereka, bekerja.

Sekarang mari kita tes pengetahuan kita tentang produk IPTEK Indonesia. Apakah anda familiar dengan kereta Maglev (Magnetic Levitation)? Atau pepaya California? Film Ipin dan Upin? Kalau teknologi 4G? Kita mampu, mampu sekali! Tetapi dimana dukungan terhadap perkembangan IPTEK Nasional? Dimana semangat berinovasi mahasiswa ITB? (Kemudian hening, tidak ada yang bersuara).

Kawan, jawaban dari pertanyaan ini akan berpengaruh pada sejarah Indonesia yang kelak akan kita tulis.

4 stage of tech dan caveman principle
Setelah sadar akan kondisi IPTEK bangsa dan jika anda tergerak untuk mengembangkannya,baca dulu nih cerita tentang 4 stage of technology dan caveman principle. Kedua istilah ini penting untuk kita pahami dalam pengembangan IPTEK.

4 stage of technology berbicara tentang 4 tingkatan evolusi teknologi. Pada tingkat pertama, sebuah teknologi begitu berharga, bahkan sampai dijaga ketat agar tidak diketahui orang lain. Contohnya saja teknologi kertas yang kita kenal sekarang. Kertas pertama kali ditemukan di Mesir dalam bentuk Papyrus. Gulungan papyrus ini begitu berharga sampai satu gulungan saja dijaga oleh beberapa orang pendeta Mesir.

Pada tingkat yang kedua sekitar tahun 1450, ditemukan alat cetak oleh Gutenberg yang memungkinkan seseorang memiliki pengetahuan dari beberapa ratus gulungan tulisan dengan cepat. Sebelum penemuan Gutenberg, hanya terdapat 30.000 buku diseluruh Eropa. Sedangkan setelah penemuan Gutenberg, terdapat sekitar 9 juta buku. Namun pada tingkat kedua ini, teknologi tersebut masih mahal dan eksklusif untuk beberapa orang tertentu. Sebagian besar dari 9 juta buku tersebut dimiliki hanya oleh akademi dan universitas tertentu saja.

Masuk ketingkat ketiga pada tahun 1930, harga kertas menjadi sangat murah. Kertas dijual secara grosir dan besar-besaran. Kertas ada dimana-mana dan mudah ditemukan. Semua orang dapat memiliki kertas dengan harga yang murah. Sekarang, kertas sudah sampai pada tingkat keempat. Kita dapat menemukan kertas dengan beragam variasi warna, bentuk, bahan dan ukuran. Kertas menjadi kebutuhan dasar untuk beragam hal. Mulai dari untuk kepentingan akademik sampai dekorasi acara ulang tahun. Faktanya salah satu sampah terbanyak yang dihasilkan oleh kota-kota besar adalah kertas.
Sedikit mengulang dan menjelaskan, 4 stage of technology dibagi menjadi:
  1. Stage 1 (Teknologi berharga dan dirahasiakan keberadaannya dan biasanya dimiliki satu lembaga tertentu saja)
  2. Stage 2 (Teknologi menjadi lebih murah, bisa dimiliki secara personal untuk orang-orang tertentu/ekslusif)
  3. Stage 3 (Teknologi menjadi murah dan dapat ditemukan dimana saja, semua orang dapat memilikinya)
  4. Stage 4 (Teknologi menjadi jauh lebih murah dan menjadi kebutuhan dasar. Bahkan sampai terbuang sia-sia)  
Dalam pengembangan teknologi kita selalu memiliki pilihan tingkatan teknologi yang mana yang ingin kita teliti. Kematangan suatu teknologi menunjukkan di tingkat berapa teknologi tersebut berada. Semakin matang maka teknologi tersebut semakin mudah diperoleh masyarakat.

4 Stage of Technology4 Stage of Technology

Caveman principle sendiri merupakan sifat manusia yang secara genetik ada. Prinsip ini sudah ada semenjak 100.000 tahun yang lalu, Homo sapiens pertama diperkirakan hidup. Ya, Homo sapiens yang ada 100.000 tahun yang lalu itu pada umumnya masih sama dengan Homo sapiens masa kini secara genetik. Contoh dari caveman principle sendiri misalkan leluhur kita jaman dulu selalu membutuhkan “Bukti hasil berburu”. Tidak ada gunanya leluhur kita bercerita tentang mammoth berukuran sangat besar tanpa bisa membawa bangkai mammoth besar tersebut. Leluhur kita berkomunikasi tatap muka secara langsung. Itulah sebabnya rapat online tidak akan pernah berhasil menggantikan rapat secara langsung. Begitu juga jika kita ingin ngobrol dengan teman kita. Pasti kita lebih memilih bertemu langsung ketimbang sekedar menelpon dan sms. Itulah penyebabnya walaupun sudah ada televisi tetapi konser dan theater masih laku. Walaupun sudah ada tablet untuk membaca buku elektronik tetapi buku fisik masih saja laku. Manusia memang pada umumnya punya kecenderungan untuk memiliki keduanya. Namun jika manusia dihadapkan pada dua pilihan antara high tech atau high touch, manusia pasti akan memilihhigh touch.

Penampilan boleh beda. Genetik mah masih manusia gua.
Penampilan boleh beda. Genetik mah masih manusia gua.

Perkembangan teknologi harus memperhatikan kedua hal tersebut. Apalagi ketika berbicara tentang daya saing Indonesia di mata insan-insan teknologi dunia.Karena kedua hal tersebut erat hubungannya dengan kebutuhan pasar masyarakat global.

Ciri khas teknologi tersendiri.
Mari kita melihat kebijakan riset dan teknologi dari Jepang. Seperti yang kita ketahui, Jepang tidaklah dibangun dalam waktu sehari (itu mah roma). Perkembangan riset dan teknologi serta daya saing Jepang juga punya masa-masa kegelapan. Kebangkitan Riset dan Teknologi Jepang dimulai dengan kebijakan yang dibuat pada tahun 1995 yang disusul perencanaan strategis per lima tahun dimulai pada periode 1996-2000. Isi dari perencanaan strategis periode awal itu sendiri berisi tentang:
  1. Penguatan hubungan antara industri, universitas dan lembaga riset pemerintah
  2. Promosi terhadap perusahaan baru yang berbasis teknologi atau ide dari universitas dan lembaga riset.
  3. Peningkatan dukungan untuk ilmuwan muda dengan meningkatkan jumlah beasiswa S-2 dan S-3
  4. Memberikan kemudahan bagi ilmuwan untuk menjalankan profesinya
  5. Mengadakan lebih banyak kompetisi yang berkaitan dengan dana riset
  6. Peningkatan sumber daya yang diberikan pemerintah dalam riset dan teknologi.
Pada periode 2001-2005, selain perencanaan strategis diatas, juga ditambahkan empat bidang prioritas utama beserta empat bidang prioritas kedua. Perencanaan ini menjadi koridor untuk persiapan serta disribusi pembagian sumberdaya  riset dan teknologi nasional Jepang.
Keempat bidang prioritas utama tersebut adalah: life sciences, information and communication, environment, and nanotechnology/material. Sedangkan empat bidang prioritas kedua adalah: energy, manufacturing technology, social infrastructure dan frontiers (space and oceans). Bidang prioritas utama menelan 45% dari dana Ristek Nasional, sedangkan bidang prioritas kedua menelan 38%.

Dengan demikian dalam tahun-tahun kedepan, kita akan melihat Jepang memiliki ciri khas  tersendiri dalam bidang-bidang tersebut. Perencanaan seperti inilah yang dibutuhkan Indonesia. Karena tidak semua bidang sesuai dengan sumber daya yang dimiliki oleh bangsa kita. Sehingga pada akhirnya kita harus membuat prioritas tersebut.

Indonesia sendiri sudah memiliki beberapa bidang prioritas riset yaitu:
Pangan
Kesehatan dan Obat
Energi
Infrastruktur
Material maju
Sistem Teknologi dan Informasi


Apa yang bisa dilakukan sebagai mahasiswa?
Seperti telah disebutkan sebelumnya, salah satu parameter penting dalam perkembangan IPTEK adalah integrasi antara universitas, lembaga penelitian dan industri. Di negara maju seperti Jerman saja, salah satu penyumbang terbesar dana riset adalah industri. Selain integrasi tersebut, perlu diketahui mahasiswa memiliki potensi yang besar juga dalam bidang IPTEK.

Yang terpenting mindsetnya jangan bekerja, berkarya!
Yang terpenting mindsetnya jangan bekerja, berkarya!

Kita bisa berkontribusi terhadap dunia sains dan perkembangan IPTEK Indonesia! Apa saja yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi? Yang pertama, belajar dengan semangat danpassion (ya iyalah). Kemudian kita bisa dengan konstan menantang setiap ilmu-ilmu yang telah kita pelajari kedalam aplikasi nyata atau dengan kata lain melakukan riset. Salah satu senjata utama mahasiswa yang tidak dimiliki oleh ilmuwan senior adalah kreativitas. Itulah mengapa ide-ide liar para ilmuwan rata-rata datang di usia muda. Di usia yang sudah lebih tua, kebanyakan manusia menjadi semakin pesimis dan satir, konservatif. Inilah yang menjadi jangkar tersendiri bagi perahu imajinasi ilmuwan senior. Maka disinilah seharusnya kita sebagai mahasiswa memaksimalkan potensi kita. Sebelum perahu imajinasi kita semakin sulit bergerak.

Salah satu contohnya adalah kisah hidup Albert Einstein. Seperti yang kita tahu, relativitas bisa disebut sebagai ‘holy grail’ dunia fisika. Relativitas lahir dari imajinasi luar biasa seorang Einstein. Tapi Einstein di usia yang memasuki umur 48 tahun pada konferensi Solvay 1927, menentang dengan keras ide dasar fisika kuantum. Bahkan ia berdebat siang dan malam dengan Niels Bohr. Ada sesuatu tentang imajinasinya yang menolak keberadaan fisika kuantum. Beliau menolak unsur probabilitas dalam mekanika kuantum. Sedangkan usahanya untuk menemukan ‘theory of everything’ juga menemui kegagalan. Setelah itu Einstein tak lagi produktif dalam dunia fisika. Keyakinan Einstein yang menolak keberadaan Fisika Kuantum dan ketidakberdayaannya membantah Niels Bohr, bertahan sampai akhir hayatnya. 


Mimpi, tantangan dan tanya
Sesudah kita paham tentang urgensi dan apa yang bisa kita lakukan,kita juga perlu tahu bahwa berbicara tentang IPTEK di Indonesia sulit sekali untuk melepaskan diri dari jeratPolitical Will. Di negara ini, sapi dan tongkat golf pun dipolitisasi. Mau kemampuan IPTEK kita secanggih apapun, tanpa political will yang tepat dan dalam porsi yang tepat semua hanya mimpi. Sama seperti keinginan kita untuk merdeka dan mandiri.

Indonesia terus berlari dari tangan-tangan biadab yang ingin mencuri. Mencuri kekayaan alam dari Indonesia. Pada akhirnya sampailah kita pada sebuah ujung dari itu semua. Barangkali juga ujung bagi bangsa ini. Dinding-dinding peradaban menahan laju kita. Menatap dengan tawa dan hinaan yang menyakitkan. Dengan kesal kita menghantamnya, namun momentum merusak kepalan tangan kita. Kita tau kita tak bisa melawannya, karena kita lemah. Kita tak bisa melawan, karena tak pernah melatih diri untuk menghancurkan tembok-tembok tersebut. Tangan-tangan biadab itupun menjadi kian dekat. Tidak ada yang menjanjikan tanah penuh madu dibalik tembok peradaban. Tapi lebih baik berlari melewati tembok tersebut sebagai satu bangsa yang merdeka, ketimbang melewatinya diseret-seret oleh tangan-tangan tersebut. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memilih. Apa anda, saya, kita akan menyerah? Justru karena kita tahu kita lemah, sekarang kita punya alasan untuk menjadi kuat.

Seperti yang pernah dikatakan Eisenhower dulu, “Pesimisme tidak pernah memenangkan perang”. Perang kita sekarang adalah terhadap kebodohan dan penjajahan intelektual. Agar kelak anak-anak bangsa mampu bersaing di pasar global. Kita tidak boleh pesimis. Mulai dari kampus kita, menuju Indonesia. Di suatu hari di masa depan.

69 tahun lalu di depan Istana Bogor, Bung Hatta bertanya pada Bung Karno. Jika kelak kita merdeka nanti, apa bung yakin kita akan mampu mengelola bangsa ini? Apa bung yakin kita akan mampu memimpin 70 juta rakyat Indonesia? Apa bung yakin kita dapat hidup sejahtera? Lalu Bung Karno menjawab Yakin bung! 100% yakin! Kita percayakan anak cucu kita nanti untuk mengelolanya. Jika ternyata saya salah, biar sejarah yang membersihkan nama kita. 


Karena kita sudah merdeka dan waktu mereka telah lalu, tibalah pertanyaan yang sama menghampiri anda dan saya. Apa anda yakin, kita mampu bung? Mari kita tulis sejarah Indonesia yang baru. Semoga kelak sejarah yang baru itu tak lagi berbicara tentang kemiskinan dan sengsara namun kemerdekaan dan kesejahteraan.

Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater.
Steve Yudea
102.10.052
Menteri Riset dan Teknologi
Kabinet Seru KM-ITB 2014/2015

Referensi
[1] Isaacson, Walter. 2008. Einstein: His Life and Universe. London: Pocket Books.
[2] Kaku, Michio. 1998. Visions: How Science Will Revolutionize the 21st Century. New York: Anchor Books.
[3] Kaku, Michio. 2011. Physics of the Future: How Science Will Shape Human Destiny and Our Daily Lives by the Year 2100. New York: Doubleday.
[4] Kartika, Sweta, 2014. Nusantaranger. (comic.Nusantaranger.com/, diakses pada tanggal 23 September 2014)
[5] Kemenristek RI, 2014. Draft (4) Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2014-2019.(http://www.ristek.go.id/file/upload/Draft_Jakstranas_Iptek_2015-2019_(Draft%204)-20140401.pdf., diakses tanggal 23 September 2014).
[6] McRae, Hamish. 1995. The World in 2020: Power, Culture, and Prospertity. Cambridge, MA: Harvard Business School.
[7] OECD, 2012. Science and Innovation: Germany, [pdf]. (www.oecd.org/germany/sti-outlook-2012-germany.pdf, diakses tanggal 23 September 2014)
[8] Pragiwaksono, Pandji. 2014. Indiepreneur: Berkarya dan Merdesa. Jakarta: WYSDN.
[9] Stenberg, Lennart. 2004. Government Research and Innovation Policies in Japan. Stockholm: ITPS.

6.12.2014

The Virtue of Indonesian Scientists and Engineers

YES Summit 2014. Young Engineers and Scientist Summit. Konsep yang baik walaupun teknisnya buruk. Yah, tapi Tuhan tak pernah merancangkan hal yang buruk untuk kita semua. Ternyata Tuhan mengirimkan Pak Krisnahadi Pribadi sebagai pengganti yang sepadan menutup keburukan teknis acara tersebut. Mataku terbuka akan spektrum cahaya yang baru. Bahwa teknologi tak sesempit yang kubayangkan. Urgensinya pun terlalu tinggi untuk dipandang hanya sebagai sebuah supporting system dalam negara.

Baru-baru ini aku terjun kedalam dunia yang baru di kampus. Daerah yang tak pernah kusentuh sebelumnya. Namun visi membawaku dekat pada dunia ini. Kelak nanti aku bisa terlaru dalam dunia tersebut. Tak dapat kusangkal, Tuhan begitu luar biasa. Dibuatnya aku bertemu orang yang begitu membuka pandangan ketika baru saja kusentuh dunia ini. Dunia riset dan teknologi.
Banyak orang berpandangan, mengapa ilmuwan dan insinyur Indonesia belum mampu membuat mobil? Membuat telepon genggam? Membuat mobil listrik? Membuat pesawat luar angkasa? Satu hal yang perlu diketahui, kita mampu! Hanya saja selama ini kita tidak bisa menghasilkan semuanya sendiri. Benar kita punya pabrik A, pabrik B, dan pabrik C. Tapi bukan pabrik yang kita butuhkan. Kita membutuhkan sebuah industri.



Sebelum masuk kebagian selanjutnya, seperti biasa ada sebuah lagu yang ingin saya beri. Lagu ini adalah lagu kemahasiswaan favorit saya. Diciptakan oleh Abah Iwan dari UnPad. Mungkin lagu ini lebih familiar di telinga mahasiswa-mahasiswa Bandung, tapi semoga lagu ini mampu membawa kita pada semangat yang baru.

Saya ingat cerita tentang seorang insinyur Indonesia yang dalam perjalanan karirnya bersama sebuah perusahaan motor Jepang merancang motor Nasional. Singkat cerita, rencana agungnya tersebut mampu terlacak oleh perusahaan besar tersebut. Insinyur tersebut dipecat, kantor dan tempat tinggalnya diobrak-abrik sampai blueprint rancangan motor tersebut dihancurkan. Dalam kehancuran mimpinya dan renungannya di kemudian hari, ia mendapati perusahaan motor tersebut membuat motor berdasarkan blueprint yang sudah ia rancang tanpa mencantumkan namanya.

Kembali pada bangsa kita hari ini. Yang sekarang ini sedang berkembang adalah ekspor barang yang siap olah. Memang baik jika kita mampu mengolah barang tambang atau sumber daya alam kita menjadi bahan siap pakai. Seperti contohnya saja karet menjadi Lump yang siap diolah. Tapi alangkah lebih baik jika kita bisa mengolah dari hulu sampai ke hilir secara mandiri. Sehingga keuntungan yang dihasilkan setiap sektor pun mampu memberi makan masyarakat kita sendiri ketimbang hanya menjadi mainan negara-negara maju. 
Gambar 1. Krisis Insinyur Mengancam Pembangunan Nasional

Tanggungjawab dan harapan itu tentunya hutang yang harus kita bayar, sebagai ilmuwan dan insinyur. Ketertinggalan kita dengan bangsa-bangsa lain dan keterpurukan perkembangan ristek harus mampu kita kejar dalam 10-20 tahun kedepan jika kita tidak ingin tenggelam selamanya. Tentu saja saya tidak berbicara masalah gagap atau tidaknya bangsa kita terhadap perkembangan teknologi. Saya sedang berbicara masalah kemampuan bangsa kita untuk menjadi mandiri. 


Kita seringkali mendengar pernyataan bahwa jenjang pendidikan wajib kita tempuh untuk mencari ilmu. Saya tidak sepakat. Sampai kapanpun jika ilmu yang kita cari kita tidak akan mendapatkannya. Hanya ada tanggungjawab di tempat kita menempuh pendidikan. Ya, tanggung jawab akan mereka yang tidak bisa menikmati pendidikan seperti kita. Tanggungjawab akan ratusan juta rakyat yang menaruh harapan pada hati nurani mereka yang dapat menikmati pendidikan. Apalagi ranah pendidikan insinyur dan ilmuwan yang tergolong langka. Pendidikan mampu mengubah hidup kita, hidup mereka.


Dalam semua kelemahan, keresahan, kegelisahan dan kehancuran itu muncul sebuah tanya. Apa kita akan menyerah? Apa kita akan lari seakan itu bukan masalah kita? Jawabannya tidak. Lemah adalah alasan untuk menjadi kuat. Tanpanya kita takkan lagi menemukan ruang untuk berkembang. Kelemahan adalah sebuah peluang yang tanpanya, tidak ada pahlawan yang terlahir. Tidak ada orang yang memberi harapan bagi bangsanya. 

Mengutip dan memberikan sentuhan tambahan pada kutipan Presiden Kabinet KM-ITB, Mohammad Jeffry Giranza: Bahwa prinsip membangun bangsa itu seperti ketika kita mengayuh sepeda. Ketika kita berhenti bergerak, kita pasti jatuh. Ketika kita berhenti berinovasi, bangsa ini pasti jatuh. Tidak masalah kita tidak mengayuhnya secepat bangsa yang lain. Yang paling penting, kita mengayuhnya diatas kaki kita sendiri!

Semoga profil dan pemikiran saya boleh menceritakan mimpi serta integritas saya di manapun berada.


Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater!

Steve Yudea
102.10.052
Menteri Riset dan Teknologi 
Kabinet KM-ITB

12.22.2013

Bisikan

Beberapa hari yang lalu aku mau bantu2 logistik Natal PMK. Hujan yang rintik2 dan mata yang sayup2 tampak menjadi lawan yang mudah. Aku sangat bersemangat, entah kenapa. Kakiku pun menuntunku masuk ke angkot Caheum-Ledeng. Seharusnya aku turun di gerbang belakang, tapi entah kenapa aku ingin sekali di parkiran sipil saja. Tiba2 saja hati menjadi manja dan kakiku menuruti hatiku. Tak juga kumengerti mengapa.

Tak lama, aku sampai di antara pepohonan lapangan sipil. Melewati rerumputan yang lembab dan pohon2 saksi-saksi sejarah yang tak mampu berkata2. Gedung sipil dan fisika seakan berbisik kepadaku,  tak dapat kudengar apa yang ia katakan. Sekejap aku merinding, mengingat betapa banyak orang besar yang pernah menjejakan kaki di tempat ini. Terlena dengan bayanganku, tak kusadari CC Barat menepuk bahuku. Ya, CC Barat, kawan lamaku. Entah berapa materi OSKM yang telah disusun di tempat ini. Entah berapa gerakan mahasiswa yang telah diserukan di tempat ini. Aku ingat kilau matahari pagi yang beriringan dengan kedatangan mahasiswa baru ITB di tempat ini. Matahari selalu mengingatkan akan hari esok.

Kakiku melangkah lagi melalui Plaza Widya. Kampus ini adalah tempat untuk bertanya dan pasti ada jawabannya kata Plawid. Senyum tak bisa kutahan dari bibirku. Betapa tinggi harapan bangsa ini pada mahasiswa Ganesha. Sisa waktuku sebagai mahasiswa, harus kupakai untuk menjadi jawaban. Entah mengapa kulewati Plawid, padahal rintik hujan masih bergantian menyambut.

Dari sana aku beranjak lagi melalui TVST dan Oktagon. Sepasang kakiku terhenti kembali. Tempat ini pernah punya arti yang begitu dalam, setidaknya untukku. Hanya nada taganing dan sulim yang menari didalam pikiranku. Seandainya aku lebih pintar membagi waktuku, lebih banyak kontribusi yang dapat kuberi. Mungkin Tuhan memang tidak inginkanku disana. Dan masih tak kupahami mengapa aku jalan melalui tempat ini.

Tetes air hujan jatuh membasahi rerumputan. Kembali ku dapati diriku termangu. Ku tatapi langit dan kurasakan angin yang berhembus disekelilingku. Akhirnya aku mengerti. Tuhan berbisik padaku melalui alam, melalui bangunan. Dia masih memanggilku untuk berkarya disini. Dia masih menantiku memberi jawab.
Biar waktu yang membuktikannya. Jawaban bagi permasalahan kampus. Kemudian Indonesia.

Akhirnya aku terus berjalan memenuhi tujuan ku semula untuk membantu logistik natal PMK ITB. Pelayanan yang tidak mudah, tapi Tuhan selalu yang pimpin kami. Kesetiaan melayani di perkap dan logistik adalah bekal yang sangat mahal dalam mengerjakan visi kemudian hari.



Visi tidak boleh berhenti hanya di kampus. Visi tidak boleh berhenti hanya di unit, di himpunan, di organisasi. Visi harus sampai pada Indonesia dan dunia. Perjuangkan visi kita bagi orang lain. Bukan semata karena mencari pahala, tapi leluhur kita telah memperjuangkan visi mereka bagi kita terlebih dahulu.
Bersyukurlah dengan berjuang!

Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku - Hatta

Kawan, tidak satu visi pun sepele. Semua berharga bagi Ibu Pertiwi, semua berharga di mata Tuhan. Maka cari dan kerjakan visi. Heninglah sejenak untuk mendengarkan bisikan dan panggilan itu. Selamat mengerjakan visi, Tuhan memberkati :)

9.09.2013

Merawat Kanker Seni dan Budaya

Di era globalisasi ini, kita mendapati banyak sekali kebudayaan punah dibantai budaya dari negara-negara industri kreatif. Apalagi di negara tanpa kedaulatan ini. Kearifan lokal hidup tak mau, matipun segan. Seni-seni tradisional sekarat ditikam oleh budaya populer yang lebih komersil. Maka peminat kesenian tradisional pun semakin berkurang, demikian juga dengan orang-orang yang menguasainya. Coba kita lihat sebentar data jumlah seniman dan penduduk Jawa Barat.

Gambar 1. Data Seniman di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011[1]

Gambar 2. Jumlah Penduduk Jawa Barat Tahun 2011[2] 

Sayang data statistik tersebut kurang detail apakah seniman disini adalah seniman yang hanya berfokus pada seni tradisional atau tidak. Serta tidak bisa menggambarkan apakah 46.485.076 orang selain seniman tersebut benar-benar mengerti tentang kesenian tradisional atau tidak. Tetapi mari coba kita asumsikan semua seniman tersebut paham seni tradisional termasuk para seniman kontemporer. Asumsikan juga bahwa kita adalah orang yang ingin belajar dari pelaku seni tradisional yang ahli, maka peluangnya adalah 0.026% kawan! 

Dalam cakupan organisasi seni dan budaya di Bandung sendiri hanya terdapat 44 sanggar seni dan 5 balai budaya yang terdaftar pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat[1]. Terdaftar pada Disparbud berarti jika diantara organisasi tersebut ada yang mengalami kesulitan, maka pemerintah mengetahuinya. Diantara itu semua pun tidak ada satupun yang mendalami kesenian Sumatera Utara. Sayangnya aku tidak menemukan satupun data tentang sanggar seni dan balai budaya Sumatera Utara di tempat asalnya atau bahkan seluruh Indonesia (Yang memunculkan kembali pertanyaan penting atau tidaknya seni dan budaya di Indonesia). 

Kesulitan ini saja sudah menjadi beban dan celakanya ada masalah yang lebih besar lagi kawan, alat musik tradisional. Ya, tidak semua alat musik tradisional dapat dibuat dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah. Juga tidak semua sanggar seni dan balai budaya mampu membuat alat musik. Pengrajin alat musik tradisional di daerah-daerah terpencil pun bukan solusi yang mampu menutup masalah. Jika kekurangan tenaga ahli adalah tumor, maka kankernya adalah alat musik tradisional.

Tumornya dioperasi seperti apa? Tumornya bisa kita angkat dengan melawan balik budaya pop. Kita dapat mengasimilasikan seni budaya tradisional dengan budaya pop (tentu dengan beberapa batasan agar tidak menghilangkan makna). Asimilasi ini tentu dapat menjadi daya tarik tersendiri yang unik. Kualitas unik ini, kawan, bukan hanya daya tarik lokal tapi juga global. Ketika budaya pop ini dapat dilawan balik, harusnya minat terhadap kesenian tradisional dapat meningkat kembali. Bukan tidak mungkin jika beberapa tahun lagi peluang 0.02% tersebut meningkat sampai 2%. 

Jika memainkan lagu-lagu Jazz yang sudah populer seperti “Unchain My Heart”, “Lullaby of Birdland”, “Fly Me To The Moon” atau “God Bless The Child” barangkali pemusik Indonesia akan kalah telak di pasar global dengan pemusik Amerika yang merupakan tempat lahir Jazz (Buktikan sendiri). Lantas bagaimana jika pemusik Indonesia memainkan lagu yang tidak pernah penduduk dunia dengar seperti “Tilo Tilo”, “Terdaram Daram” dan “O Tano Batak” dengan aransemen yang bertahun-tahun telah mengalir dalam telinga mereka? Aku ingat dalam Asian Idol beberapa tahun silam, Indra Lesmana pernah mengomentari peserta dari India tentang kualitas riff and run etniknya yang unik. Indra Lesmana berkomentar: “Itu yang dari tadi saya tunggu-tunggu. Kualitas itu tidak dimiliki penyanyi yang lain”.

Ini contoh asimilasi lagu Batak dengan telinga masyarakat dunia. Silahkan melanjutkan baca sambil menikmati lagu ini :)



Tumornya sudah bisa diangkat, sekarang kemoterapi apa yang bisa kita lakukan untuk mengobati kanker Ibu Pertiwi? Mari tulis semua soal ini di atas papan dan kita turunkan solusinya dengan persamaan differensial. Solusi umumnya adalah “Dengan kekuatan yang besar, maka datang juga tanggung jawab yang besar”. Solusi khususnya adalah “Ilmu pengetahuan adalah kekuatan”. Sehingga solusi lengkapnya adalah: Mari kita kemoterapi Ibu Pertiwi dengan ilmu pengetahuan kita! 

Sebagai seonggok insinyur dan ilmuwan, seharusnya kita mampu mengintervensi semua permasalahan ini dengan teknologi. Sejak jaman manusia gua pun teknologi selalu menjawab tantangan jaman. Seperti teknologi api dan kapak batu. 

Tidak, aku bukan mengajukan teknologi untuk mengganti seutuhnya segala alat kesenian tradisional tapi kita dapat memudahkan proses latihan musik dengan teknologi. Sebab mengganti seutuhnya alat kesenian tradisional dapat mengurangi nilai-nilai historis dan budayanya. 

Sebagai contoh: Kesulitan berlatih Tagading karena hanya ada satu Tagading yang berada dalam kondisi prima. Kita dapat membuat sebuah tagading elektrik untuk berlatih untuk mengurangi beban satu-satunya Tagading kita yang berada dalam kondisi prima. Tagading yang asli tersebut dapat kita siapkan untuk gladi bersih dan penampilan hari H. Sisa latihannya dapat kita lakukan dengan tagading elektrik. 

Kemoterapi memang tidak bisa menjamin keselamatan pasien. Kanker bisa saja tumbuh kembali kapan saja. Jika dianalogikan dengan masalah tadi maka peristiwa ini mewakili stagnannya pertumbuhan pengrajin alat musik tradisional. Tanpa pertumbuhan jumlah pengrajin, maka teknologi bisa saja malah menjadi pembunuh kesenian tradisional. Psikologi pasien juga dapat menjadi faktor yang utama dalam penyembuhan kanker. Tanpa semangat hidup yang kuat, sejatinya sejak awal pasien sudah mati. Ibu Pertiwi yang sudah berada dalam kanker stadium empat bisa mati kapan saja jika orang-orang disekitarnya tidak memperjuangkannya. Terutama mereka yang masih perduli, yang masih percaya, dan mereka yang masih mencintai budaya mereka. Ya, kita tidak boleh menyerah atau Ibu Pertiwi akan mati bersama seni dan budaya. Celakalah kita jika anak cucu kita tahu bahwa kita berada diantara mereka yang tidak melakukan apa-apa. 

[1] http://www.disparbud.jabarprov.go.id
[2] http://www.jabarprov.go.id