9.09.2013

Merawat Kanker Seni dan Budaya

Di era globalisasi ini, kita mendapati banyak sekali kebudayaan punah dibantai budaya dari negara-negara industri kreatif. Apalagi di negara tanpa kedaulatan ini. Kearifan lokal hidup tak mau, matipun segan. Seni-seni tradisional sekarat ditikam oleh budaya populer yang lebih komersil. Maka peminat kesenian tradisional pun semakin berkurang, demikian juga dengan orang-orang yang menguasainya. Coba kita lihat sebentar data jumlah seniman dan penduduk Jawa Barat.

Gambar 1. Data Seniman di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011[1]

Gambar 2. Jumlah Penduduk Jawa Barat Tahun 2011[2] 

Sayang data statistik tersebut kurang detail apakah seniman disini adalah seniman yang hanya berfokus pada seni tradisional atau tidak. Serta tidak bisa menggambarkan apakah 46.485.076 orang selain seniman tersebut benar-benar mengerti tentang kesenian tradisional atau tidak. Tetapi mari coba kita asumsikan semua seniman tersebut paham seni tradisional termasuk para seniman kontemporer. Asumsikan juga bahwa kita adalah orang yang ingin belajar dari pelaku seni tradisional yang ahli, maka peluangnya adalah 0.026% kawan! 

Dalam cakupan organisasi seni dan budaya di Bandung sendiri hanya terdapat 44 sanggar seni dan 5 balai budaya yang terdaftar pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat[1]. Terdaftar pada Disparbud berarti jika diantara organisasi tersebut ada yang mengalami kesulitan, maka pemerintah mengetahuinya. Diantara itu semua pun tidak ada satupun yang mendalami kesenian Sumatera Utara. Sayangnya aku tidak menemukan satupun data tentang sanggar seni dan balai budaya Sumatera Utara di tempat asalnya atau bahkan seluruh Indonesia (Yang memunculkan kembali pertanyaan penting atau tidaknya seni dan budaya di Indonesia). 

Kesulitan ini saja sudah menjadi beban dan celakanya ada masalah yang lebih besar lagi kawan, alat musik tradisional. Ya, tidak semua alat musik tradisional dapat dibuat dalam waktu yang singkat dan biaya yang murah. Juga tidak semua sanggar seni dan balai budaya mampu membuat alat musik. Pengrajin alat musik tradisional di daerah-daerah terpencil pun bukan solusi yang mampu menutup masalah. Jika kekurangan tenaga ahli adalah tumor, maka kankernya adalah alat musik tradisional.

Tumornya dioperasi seperti apa? Tumornya bisa kita angkat dengan melawan balik budaya pop. Kita dapat mengasimilasikan seni budaya tradisional dengan budaya pop (tentu dengan beberapa batasan agar tidak menghilangkan makna). Asimilasi ini tentu dapat menjadi daya tarik tersendiri yang unik. Kualitas unik ini, kawan, bukan hanya daya tarik lokal tapi juga global. Ketika budaya pop ini dapat dilawan balik, harusnya minat terhadap kesenian tradisional dapat meningkat kembali. Bukan tidak mungkin jika beberapa tahun lagi peluang 0.02% tersebut meningkat sampai 2%. 

Jika memainkan lagu-lagu Jazz yang sudah populer seperti “Unchain My Heart”, “Lullaby of Birdland”, “Fly Me To The Moon” atau “God Bless The Child” barangkali pemusik Indonesia akan kalah telak di pasar global dengan pemusik Amerika yang merupakan tempat lahir Jazz (Buktikan sendiri). Lantas bagaimana jika pemusik Indonesia memainkan lagu yang tidak pernah penduduk dunia dengar seperti “Tilo Tilo”, “Terdaram Daram” dan “O Tano Batak” dengan aransemen yang bertahun-tahun telah mengalir dalam telinga mereka? Aku ingat dalam Asian Idol beberapa tahun silam, Indra Lesmana pernah mengomentari peserta dari India tentang kualitas riff and run etniknya yang unik. Indra Lesmana berkomentar: “Itu yang dari tadi saya tunggu-tunggu. Kualitas itu tidak dimiliki penyanyi yang lain”.

Ini contoh asimilasi lagu Batak dengan telinga masyarakat dunia. Silahkan melanjutkan baca sambil menikmati lagu ini :)



Tumornya sudah bisa diangkat, sekarang kemoterapi apa yang bisa kita lakukan untuk mengobati kanker Ibu Pertiwi? Mari tulis semua soal ini di atas papan dan kita turunkan solusinya dengan persamaan differensial. Solusi umumnya adalah “Dengan kekuatan yang besar, maka datang juga tanggung jawab yang besar”. Solusi khususnya adalah “Ilmu pengetahuan adalah kekuatan”. Sehingga solusi lengkapnya adalah: Mari kita kemoterapi Ibu Pertiwi dengan ilmu pengetahuan kita! 

Sebagai seonggok insinyur dan ilmuwan, seharusnya kita mampu mengintervensi semua permasalahan ini dengan teknologi. Sejak jaman manusia gua pun teknologi selalu menjawab tantangan jaman. Seperti teknologi api dan kapak batu. 

Tidak, aku bukan mengajukan teknologi untuk mengganti seutuhnya segala alat kesenian tradisional tapi kita dapat memudahkan proses latihan musik dengan teknologi. Sebab mengganti seutuhnya alat kesenian tradisional dapat mengurangi nilai-nilai historis dan budayanya. 

Sebagai contoh: Kesulitan berlatih Tagading karena hanya ada satu Tagading yang berada dalam kondisi prima. Kita dapat membuat sebuah tagading elektrik untuk berlatih untuk mengurangi beban satu-satunya Tagading kita yang berada dalam kondisi prima. Tagading yang asli tersebut dapat kita siapkan untuk gladi bersih dan penampilan hari H. Sisa latihannya dapat kita lakukan dengan tagading elektrik. 

Kemoterapi memang tidak bisa menjamin keselamatan pasien. Kanker bisa saja tumbuh kembali kapan saja. Jika dianalogikan dengan masalah tadi maka peristiwa ini mewakili stagnannya pertumbuhan pengrajin alat musik tradisional. Tanpa pertumbuhan jumlah pengrajin, maka teknologi bisa saja malah menjadi pembunuh kesenian tradisional. Psikologi pasien juga dapat menjadi faktor yang utama dalam penyembuhan kanker. Tanpa semangat hidup yang kuat, sejatinya sejak awal pasien sudah mati. Ibu Pertiwi yang sudah berada dalam kanker stadium empat bisa mati kapan saja jika orang-orang disekitarnya tidak memperjuangkannya. Terutama mereka yang masih perduli, yang masih percaya, dan mereka yang masih mencintai budaya mereka. Ya, kita tidak boleh menyerah atau Ibu Pertiwi akan mati bersama seni dan budaya. Celakalah kita jika anak cucu kita tahu bahwa kita berada diantara mereka yang tidak melakukan apa-apa. 

[1] http://www.disparbud.jabarprov.go.id
[2] http://www.jabarprov.go.id