6.29.2015

Observation Upon Fellow Indonesian: 2. Ah palingan juga...

First of all, this series of posts I called: The Observation Upon Fellow Indonesian were meant to be ajakan bukan ejekan. Ajakan untuk sama-sama memperbaiki diri menjadi warga Indonesia yang lebih baik dan pribadi yang lebih baik. So positively, let's change ourself!

Naah. Di bagian yang kedua ini, kita bakalan omongin sifat kedua yang mudah ditemuin kalo ketemu orang Indonesia: Ah palingan juga ada yang.......

Pernah dateng ke kondangan? Ya pasti perna lah yaa. Ever wonder kenapa tong-tong atau container-container plastik yang disediakan catering di samping-samping meja kok kosong? Yap. You guess it. Piring-piring dan gelas-gelas kotornya ada di kolong bangku! Bahkan pernah dalam salah satu kondangan, gw liat dengan mata kepala sendiri nih. Orang-orang makan salak terus biji beserta kulitnya dibuang aja ke bawah. Waktu ditegor dan ditanya kenapa sembarangan jawabannya simpel: Ah palingan ada yang bersihin...

Pernah jalan di trotoar kan? Kalo gapernah keterlaluan sih. Pernah negor pengemudi sepeda motor yang naik ke jalur trotoar? Gw pernah dan jawabannya simpel: Ah palingan lo juga kalo naik motor make trotoar.

Pernah ngantri di bank atau di dufan atau di busway? Satu atau dua orang doyan banget nyerobot antrian, kayak nggak puas aja kalo nggak nyerobot. Haha. Lebih ngeselin lagi  yang dorong-dorong antrian. Trus kalo ditegor jawabannya: Yah nanti gak kebagian. Ah palingan cuma beda semenit dua menit. Ah palingan juga nanti ada yang dorong lagi di belakang.

Tapi bentuk ah palingan yang paling gak gw suka itu ketika gw ketemu anak kecil yang rankingnya gak terlalu bagus terus orang tuanya bilang: ah palingan kamu gak ranking lagi.

So now, the quintessence of the problem: Berdasarkan jenis dan bentuknya ada beberapa kategori 'ah palingan' yang bisa kita peras sarinya. Jenis yang pertama menunjukkan pasif dan takut mengambil inisiatif. Jenis yang kedua menunjukkan bahwa kita terlalu banyak melihat ketidakidealan. Jenis ketiga menunjukkan rasa minder. Lantas quintessence dari ketiga hal itu apa nih? Setelah dirimang-rimang rasa-rasanya kita kurang semangat juang. Hmmmm.

Untuk menjadi pasif ketika masalah yang ditemui masih sepele tentu tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau sifat pasif ini masih melekat ketika peluang mendekat? Ketinggalan dong kita nanti bung! Haha. Satu contoh mengenai pasif yang paling ngena itu tentang kearifan lokal negeri kita tercinta men. Banyak banget orang Indonesia yang ngerasa keren kalo makan-makanan eropa, korea, jepang, amerika dkk (kok gak ada yang ngerasa keren klo makan hidangan khas etiopia yah #eh). Ampe2 difoto segala. Tapi kok jarang ada orang ngerasa kern kalo makan hidangan tradisional? Coba liat gerai2 makanan yang baru di buka di sekitaran rumahmu atau di CFD dekat rumahmu. Burger, sosis lagi burger, sosis lagi. Coba deh liat video yang satu ini.

Sebentar lagi kita bakalan masuk era perdagangan bebas ASEAN. Free flow of labor, free flow of goods, free flow of service. Lantas nilai jual apa yang benar2 bisa membedakan antara produk yang kita jual dengan orang lain? Apa yang bisa membedakan etos kerja kita dengan orang dari negara tetangga kita? Oooof. To be frank with you, only local genius (kearifan lokal) to the rescue! Lagian masa gamalu sih kita, tradisi kita malah bule yang lebih peduli *pipi merah*

[https://www.facebook.com/bbc.indonesia/videos/10155754599225434/]

Orang Indonesia juga kayaknya udah terlalu fed up sama kondisi yang tingkat ngaconya udah terlalu parah. Venal officer of any governmental, political and justice organizations bla bla bla. Kebiasaan yang udah turun temurun (buset dah, kebiasaan ato gen?). Benar memang tidak ada hal yang ideal di dunia ini. Namun justru untuk itulah kita bermimpi, kita bekerja dan kita hidup. Untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan lebih ideal kelak. Mungkin kita tak dapat menikmati dunia baru itu, namun kelak anak cucu kita yang dapat merasakannya. Tentu kita tidak mau mewariskan dunia yang hancur bukan?

Kalau ngobrol2 sama orang2, mau ngapain setelah lulus rata2 jawabannya sama. Kalo kata dosen saya, anak ITB mah ngapain kerja di perusahaan minyak? Kerja sana di pabrik tahu tempe. *ini serius*. Jawaban klisenya: butuh makan, gausah idealis2 amat, dapur harus ngebul, modal nikah. Kesimpulan singkatnya, kita punya terlalu banyak masalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Jadi ini nih bro alasan utama kita gabisa maju2 terutama dalam hal teknologi.

Ah kentut lo. Seriusan. Coba lihat Cina deh. Tahun !950 negeri mereka lebih miskin dari kita choi. Bahkan latar belakang penggunaan sumpit karena terlalu banyak rakyat miskin disana yang ga bisa beli meja beserta alat makan yang lain *iya sih sebelum 1950 itu mah*. Beberapa tahun lalu kita hina2 barang tiruan made in china. Eh tetiba Xiaomi jadi salah satu merek HP yang bagus dan murah. You have to admit, mereka udah jauh lebih maju dari kita! Ga cuma di sektor teknologi aja choi. So, alasan lo masih valid gak?

Yang terakhir tampaknya dampak masa penjajahan yang masih lengket dengan setiap lapisan masyarakat: minder. Jahatnya kolonialisme dulu bagi saya bukan cuma mencuri sumber daya dan membunuh begitu banyak indigenous people, tapi menanamkan rasa minder di dalam diri kita. Seakan-akan ras mereka jauh lebih cerdas ketimbang kita. Bahkan sesungguhnya pengetahuan penjajah tentang penjelajahan tak sebaik orang- maluku. Pun dengan pengetahuan mereka tentang pertanian dibanding orang-orang Jawa. Kita hanya tak punya kesempatan untuk mempublikasikan pekerjaan kita. Ya, itu dulu. Namun hal ini masih sangat melekat di dalam benak kita sampe sekarang.

Ketika ada seorang bule di tempat kerja atau di sekolah kita, berapa banyak dari kita yang langsung merasa mereka lebih cerdas (lain cerita yah kalo soal day to day english conversation)? Padahal kenyataannya nggak brur. Bahkan kalo kita telusuri univ2 atau sekolah2 di US, mereka lebih takut sama orang Asia. Walaupun masih didominasi orang2 korea, jepang, china dan india, bukan tidak mungkin kelak kita dapat menjadi negara yang dihormati karena kontribusi kita terhadap dunia. Samanya kita manusia wak, jangan minder!
Kalo kata pak Freddy Zen: gak ada itu jenius. Adanya kerja keras, belajar yang bener biar pinter.

Makanya yuk kita belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Jangan pasif! Jangan minder! If you cannot find any ideal world, than make one! Because the best way to predict the future is to create it.

Mari berjuang :D

6.21.2015

Observation Upon Fellow Indonesian: 1. Lu orang apa?

Lu orang apa? Asal darimana? Suku apa? Agama apa? Jambul lo miring kemana? Susunan DNA lo kayak gimana wak?

This will be one of the very first question an Indonesian ask to you, though you are actually an Indonesian. The worst part is, beberapa dari mereka akan memperlakukan elo tergantung dari jawaban elo. Kalo sama kayak mereka, mungkin elo bakalan dibantu, tapi kalo beda...

Percaya ga lo? Nih tonton video yang satu ini sebagai pembuktian...



Walaupun social experimentnya punya kekurangan tapi cukup sahih lah untuk ngambil kesimpulan kalo rasis kecil2an itu masih ada. Mungkin seharusnya di social experiment ini, berat badan si orang yang ke wartegnya di sesuaikan juga yah. Jadi variabelnya sama semua. Hoho. Mungkin hasilnya beda, but who knows. Gw lebih sepakat kalo harga makanan di warteg atau di restoran itu bergantung sama berat badan lo. Jadi nanti ada rangenya, untuk 3 centong nasi kalo berat lo 40-60 kg harganya Rp 3000. Kalo 60-80 jadi Rp 6000 dan kalo 80-100 jadi Rp 9000. Makanya badan jangan gede2 #eh. Yak intermezzo nomor 1. Lanjut gan.

Ntar dulu, jangan2 jangan2... Kalo hal ini terjadi pada level porsi makanan di warteg doang sih gak kenapa-napa. Yang lebih berbahaya itu kalo hal kayak gini terjadi di level pimpinan-pimpinan stakeholder seluruh Indonesia. Baik itu perusahaan, pemerintahan, militer dan dunia pendidikan men. 

Yuk kita berandai andai. Bayangkan di Perusahaan Tempe Acuh Tak Acuh ada dua calon CEO, si A dan si B. Katakanlah (gausah mikir yang lain2, katakan saja) si A lebih jago dari si B. Namun para pemegang saham sesukunya sama si B. Eh tau-tau kepilih deh si B. Entah apalah yang bakal terjadi sama si perusahaan itu. Hal inilah yang kita masih perlu banyak belajar dari negara-negara maju untuk mampu bertahan di tengah persaingan global. Kita harus belajar melihat dari orang yang memiliki perbedaan dengan diri kita. Tanpa perlu kita cela orang lain karena berbeda pandangan atau berbeda apapun juga. 

Gw tengok orang-orang Indonesia banyak sekali yang tidak suka terhadap Wahyudi (ceritanya sukunya disensor). Karena masalah Palestina lah (coy ini bukan masalah agama), masalah inilah, masalah itulah. Tapi kenapa nggak kita ambil hal-hal positif yang ada di kebudayaan mereka? Orang Indonesia banyak yang mencela produk2 luar negeri ciptaan otak-otak wahyudi walaupun tetap dipake juga sih. Tapi kenapa nggak kita serap aja ilmu mereka? Salah satu (sub)ras yang paling cerdas di dunia adalah Wahyudi Ashkenazi yang udah turunannya turunan lagi dari 12 suku asli Israel. Tau nggak kenapa mereka bisa secerdas itu? Karena ibu-ibu mereka cerdas. Sewaktu hamil, saudari2 kita ini sering ngerjain soal matematika coba. Buset. Selain itu ada diet-diet khusus yang mereka makan untuk mendukung kecerdasan mereka kayak kacang-kacangan dan ikan. Yang paling keren itu, ketika mereka berusia 13 tahun, mereka sudah diajak bicara layaknya seorang dewasa. Ininih yang jauh banget dari orang Indonesia. Makanya orang Indonesia sampe umur 20 tahunan juga banyak yang masih manja, cemen, ga mandiri.

Hal diatas juga bisa kita lakukan ke suku bangsa Indonesia yang berbeda choi! Misalnya kita harus belajar bersabar layaknya orang-orang Jawa, ramah layaknya orang-orang Sunda, persistent kayak orang Batak, pintar dagang kayak orang Tionghoa, etc, etc. Yang gak disebut jangan marah.

Selain suku, yang paling sering gw liat (terutama akhir2 ini) tuh hobinya orang Indonesia ngomentarin masalah agama. Just recently booming, netizen ramai mengomentari video kesaksian artis yang pindah agama. Jujur gw jijik banget liat komen2nya. Keliatan rerata IQ-nya orang Indonesia masih hina kali. Seakan-akan takut orang lain membuat pilihan yang berbeda dengan dirinya. Insecurity has always been one of the main trait of Indonesian. Mungkin ini salah satu PR besar kita semua. Choi, kebenaran ga pernah bicara soal jumlah. Lihat Copernicus yang cuma seorang diri dan dianggap gila ternyata benar. Pun dengan Galileo, Newton, dan Einstein. Kebenaran ga bicara soal jumlah! Agama pun bukan mengenai jemaat, agama mengenai pengenalan akan Tuhan. It's always been about the depth of your relationship with God. Dan lo ga bisa ngukur kedalaman itu tanpa lo alamin, tanpa lo jalanin. Masih mending sih cuma comment aja. Yang lebih ampas lagi ada aja sebagian penduduk Indonesia yang menawarkan jabatan atau jodoh dengan menukar kepercayaan. Well, those who did, you will certainly suffer. Seriously man, lo pikir tazos apa bisa dituker2.

Kejadian yang kayak gini di Indonesia tuh sering banget brur. Trus dikomporin lagi sama media yang gak kalah ampasnya. Coba deh cek berita yang gw jijik liat komennya tadi. Di samping2 ada salah satu media online yang kompor banget dengan menambahkan judul berita 'di bulan Ramadhan". Sesungguhnya Bu Risma sebelum nutup Gang Dolly harusnya nutup kantor2 media elektronik dan cetak yang gak jelas kayak gitu dulu. Prostitusi kebenaran jauh lebih bahaya dari prostitusi nafsu. Jual idealisme jurnalistik cuma demi perhatian orang (which leads to money). Hebatnya lagi, orang Indonesia itu setali tiga uang sama media2 kayak gini. Kebanyakan dari kita gak suka ngecek dan mencari kebenaran sebelum bicara. Yang penting kita yang jadi pusat perhatian (or in other words: attention whore). Najis. Indonesians are mostly gullible alias gampang banget dikibulin men (nanti jadi part tersendiri yang bakal gw tulis juga di blog kok. Hehe). Oke, intermezzo nomor 2.

Nah terus kita harus apa dong bro? Kita harus belajar memahami orang brur. Belajar untuk tidak menghakimi sebelum kita kenal lebih dalam tentang saudara2 kita. Indonesia dibangun diatas Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika brur. Kalau kamu merasa golonganmu yang paling benar, bedamu sama penjajah kita jaman dulu apa? Diluar sana ada banyak sekali musuh bersama mengintai setiap hari. Namun tampaknya kita terlalu dibutakan dengan masalah-masalah sepele yang hanya butuh pengendalian diri untuk disingkirkan. Iya, musuh bersama itu adalah: kelaparan, kemiskinan, kebodohan, kedegilan, korupsi, et cetera. You name it. Tanpa semangat bersatu, jangan harap kelak sang Garuda akan mampu terbang kembali.

~Untuk Tuhan, bangsa dan almamater~
Steve Yudea
102.10.052

Observation Upon (Generalized) Fellow Indonesian

Hola amigos! So I've decided to make a themed blog post based on my observation upon fellow Indonesian. Of course this is not scientific, though I am trying my best to make it so. I will also put my opinion into each and every post I made in the series. I hope I could share something useful than those corny diary blog post I've posted earlier.

Anyway this serial post consists of seven alluring part that I could not reveal right now. Please do follow my post and stay a little bit longer around my blog. Just scoot around, read some of my older posts or even the corny high school cerpen.

Bahasa yang bakal gw pake bakalan nyampur antara bahasa Inggris kampungan ditambah bahasa Indonesia sok asik. Supaya cool-cool gaul asek gitu. However, it's the meaning and the context of the post that really matters. Dan kalo ga paham apa yang gw tulis (hiks... I am an idiot), please do comment and ask.

Enjoy guys! God bless you :D

6.19.2015

The Reason to Become a Scientist

20 tahun yang lalu, ketika Bluray, DVD dan VCD belum ada, hiduplah masa Laser Disc yang berukuran besar. Tahun 1996 entah bagaimana caranya orang tua gw nyewa Laser Disc yang berjudul Jurassic Park. Film tahun 1993.

Nih Laser Disc jaman dulu

Lalu di film itu gw melihat bagaimana sains dapat menghidupkan kembali Dinosaurus yang sudah jutaan tahun yang lalu punah karena meteor yang menghantam bumi (tepatnya di Yucatan). Berhubung waktu itu masih bocah, gw langsung terobsesi dengan Dinosaurus ini. Maklum karena belum ada internet waktu itu (dan keterbatasan dana), gw jadi hobi nangkring di toko buku dan perpus sekolah berjam-jam cuma buat bacain ensiklopedia mengenai kehidupan purba. Dan ketika SD, gw bercita-cita untuk menjadi Paleantologis. Gw mau nyari fossil Dinosaurus di Indonesia! *emang ada?* Oke, koreksi, gw mau nyari fossil Dinosaurus dimanapun!


Mulailah laci buku gw penuh dengan buku-buku cerita Dinosaurus. Favorit gw tentu Sauropod berukuran raksasa. Especially Ultrasaurus (yang waktu itu masih dianggap yang paling besar). Juga Parasaurolopus yang entah kenapa enak aja diliat. Nggak cuma itu, gw juga jadi rajin beliin mainan dinosaurus... Iya, gw juga bisa nyebutin nama-nama dinosaurusnya walaupun masih SD. Nerd banget yah?

Ukuran Manusia kalo dibandingkan sama sauropod

Naah tapi tapi tapi... Gw nggak boleh jadi paleantologis. Kata emak dulu: mau hidup dari apa di Indonesia jadi paleantologis? Yaaah...

Eits, terus gw tonton lagi tuh film, apa yah yang keren buat dikerjain seumur hidup... Disitu gw liat ada ilmuwan yang berperan mengidupkan kembali Dinosaurus yang udah punah. Kepikiran deh buat jadi ilmuwan yang bisa memberikan dampak yang positif bagi kehidupan umat manusia. Dan dalam kerangka waktu yang berbeda, gw ngeliat indahnya gejala-gejala fisika. Ya, Fisika adalah sebuah kacamata untuk menikmati koregorafi alam yang menari dengan indah. Mungkin manusia tidak akan pernah punya kontrol terhadap alam, kita hanya mampu mengarahkan geraknya saja. Namun itu sudah lebih dari cukup. Dan gw pun menemukan sebuah visi: menjadi ilmuwan!

6.12.2015

Terdidik dan Terpelajar

Akhir-akhir ini sering terpikir, apakah setiap orang yang telah menumpuh pendidikan dalam tahap apapun sudah bisa disebut sebagai terpelajar? Apakah ketika kita menanda tangan atau menyemprot dengan piloks seragam hitam putih yang maka kita sudah dapat disebut terpelajar? Ataukah ketika iringan massa himpunan mengantar langkah terakhir kita sebagai mahasiswa?

Saya pikir tidak semudah itu.

Ambil contoh salah satu kata yang paling disuka oleh remaja kekinian: 'ANJIR'. Remaja mana yang nggak pernah ngomong kata ini? Kalo ada yang bilang nggak pernah ngomong... boong banget anjir. Kata ini seringkali jadi pelesetan dari kata-kata kasar yang biasa dilanturkan penduduk Indonesia ketika mengalami suatu hal yang mengguncang emosi. Walaupun saya nggak paham kenapa harus binatang satu ini sih yang dijadikan umpatan. Padahal jujur aja, gw masih lebih suka ngurus anjing daripada ngurus orang. Orang banyak maunya, anjing cuma mau tiga hal (makan, minum, main). Mungkin di dimensi yang berbeda anjing pun ngomong orang sebagai umpatan.


Nih anjing American Pit Bull Terrier gw di rumah, Bumi von Ichito.

Okee, kembali ke topik anjir. Salah satu pengguna kata anjir yang paling banyak saat ini bisa dibilang adalah remaja tanggung sampai ke dewasa muda. Atau dengan kata lain anak sekolah usia SMP, SMA dan Mahasiswa bahkan pekerja- pekerja kantoran. Pertanyaan utamanya adalah, apakah mereka tahu arti kata anjir yang sebenernya?

Berdasarkan KBBI, Anjir artinya....

terusan; saluran (air); kanal
Nahlo! Artinya ada choi! Elo ngomong kagak tau artinya. Begimane dah... Katanya anak Sekolah?

 Menurut pendapat gw, terdidik adalah mereka yang tau aplikasi dari suatu hal, sering menggunakan hal tersebut berulang-ulang namun tidak paham nilai dan makna sesungguhnya. Ilmu yang didapat barangkali menjadi formalitas pengantar kerja. Sedangkan terpelejar paham seluk beluk dan makna dari ilmu yang telah di terima serta memanfaatkannya untuk berdampak.

Beda tipis namun krusial sekali dalam membangun suatu peradaban. Tanpa kaum terpelajar, suatu bangsa hanya akan menjadi alas kaki bagi bangsa-bangsa lain. Menjerit minta tolong kesana kemari seakan tak bisa ia tentukan masa depannya sendiri. Maka berhentilah belajar untuk memenuhi hal-hal trivial dan superficial atau permukaan. Karena jauh didalam kalbu sang ilmu, terdapat masa depan bagi mereka yang mendedikasikan dirinya menggali makna.