9.30.2015

Keadaan IPTEK Bangsa Indonesia Hari Ini

Salah satu faktor dalam indeks daya saing suatu negara adalah indeks kesiapan teknologi (WEF, 2013). Indeks ini diperoleh dengan banyak sekali parameter penilaian seperti kebijakan suatu negara, besarnya APB yang dicurahkan untuk ristek dan sebagainya. Jangkauan dari indeks ini sendiri mulai dari 1-7, dimana 7 menunjukkan kesiapan yang terbaik. Pada tahun 2013-2014, Indonesia mampu mencapai indeks kesiapan teknologi 3,66. Waah lebih dari 3,5. Tapi jangan senang dulu, karena negara kita berada pada peringkat 75 dunia. Jika dilihat dari tahun sebelumnya pun kita mengalami penurunan. 

Description: https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xaf1/v/t1.0-9/1620778_10203624665511655_2281529801112699022_n.jpg?oh=369010b30e1784b79e0263c006fd50b5&oe=568E3F6D

Parameter lain yang menjadi penilaian adalah indeks inovasi. Indeks inovasi Indonesia pada tahun 2013-2014 mencapai 3,82. Indeks ini cukup untuk mendongkrak Indonesia pada peringkat 33 dunia dalam indeks inovasi. Sama seperti indeks kesiapan teknologi, indeks inovasi inipun bersifat naik-turun terhadap negara lain jika melihat kurun waktu 5 tahun belakangan.  

Description: https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xat1/v/t1.0-9/10702208_10203624666191672_4750086181463509494_n.jpg?oh=5adde87f20e0276f5d5cdbab5f7523da&oe=568F210C

Dalam sumberdaya IPTEK, Indonesia memiliki investasi IPTEK nasional sebesar 0,08% PDB serta jumlah peneliti per 1 juta penduduk sebesar 518 peneliti. Namun demikian, Indonesia masih sangat lemah jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Dengan kata lain IPTEK di Indonesia masih belum menjadi hal penting seperti di negara lain.

Description: https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xfa1/v/t1.0-9/10653655_10203624668751736_915837296640956131_n.jpg?oh=a5e4e0bc555d5e71d81e235431ac2afb&oe=56A07222

Produktivitas IPTEK Indonesia pun selaras dengan sumberdaya manusia yang dimiliki, masih sangat rendah. Di ASEAN saja kita hanya menduduki peringkat empat dengan selisih jurnal per tahun yang cukup besar dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Padahal penelitian tanpa jurnal ibarat lulus tanpa ijazah. Kita tidak punya bukti tertulis yang menyatakan kita telah melalui proses pendidikan ataupun penelitian.

Description: https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xpf1/v/t1.0-9/10628423_10203624670231773_8900095537057978887_n.jpg?oh=9dbc948d15858f3a35f59a685b783f8e&oe=5693A093

Kesemua hal tersebut berujung pada kegagalan meningkatkan nilai tambah produk. Sehingga mengakibatkan Indonesia berada dalam Middle Income Trap. Pada tahun 1990, Indonesia masuk ke dalam golongan negara dengan pendapatan menengah  ke bawah atau lower-middle income country. Sampai sekarang bahkan kita belum masuk ke dalam golongan negara dengan pendapatan menengah ke atas atau upper-middle income country.
Masuk ke dalam middle income trap berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang berada dalam kondisi stagnan, karena kita masih belum mampu untuk tumbuh menjadi negara maju. Faktanya dari 101 negara yang pada tahun 1960 tergolong ke dalam negara berpendapatan menengah, hanya ada 13 negara yang berhasil lepas dari jebakan tersebut. Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut lahir dari perlambatan pertumbuhan produktivitas. Ini erat sekali kaitannya terhadap kemampuan daya saing Indonesia terhadap negara lain, yaitu negara dengan pendapatan rendah dan tinggi. Persaingan dengan negara berpenpatan rendah merupakan persaingan kuantitas sdm dengan upah rendah yang bisa diberikan untuk industri. Sedangkan dengan negara maju merupakan persaingan menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, buah inovasi dan teknologi.

Description: https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xfa1/v/t1.0-9/10702135_10203624670911790_2574386493042624654_n.jpg?oh=c11ad0d9ac30ba27d6b1640ed3cfbb39&oe=5695D4A9&__gda__=1453684036_08bec9d3ef8e3eb4aab47692df66eca8

Untuk keluar dari middle income trap, maka mari kita bandingkan diri dengan negara maju agar kita bisa bersaing. Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, negara maju menghasilkan produk yang merupakan hasil inovasi dan teknologi. Pemanfaatan teknologi untuk produk yang mereka hasilkan memperhatikan sekali tiga faktor ini: kesiapan pengguna teknologi, kesiapan teknologi dan yang terakhir adalah efektivitas komunikasi dan intermediasi penyedia dan pengguna teknologi. Negera maju sangat memperhatikan ketiga faktor tersebut. Salah satu kunci yang sangat erat dengan kehidupan mahasiswa adalah integrasi antara lembaga riset dengan industri.

Di Jerman, investasi yang dilakukan pada proses riset 66% berasal dari industri, 4% dari luar negeri sedangkan 30% sisanya berasal dari negara. Ini cukup berbeda dengan yang kondisi negara kita. Selain dari persentase, jumlah dari dana yang dikucurkan untuk perkembangan IPTEK sendiri sangat kecil. Kecenderungan industri dalam negeri sendiri adalah untuk mengadopsi teknologi dari luar negeri, tanpa memperhatikan kualitas teknologi yang dihasilkan anak bangsa. Proses riset ini sendiri bisa dijalankan oleh beberapa lembaga seperti lembaga litbang dan yang paling penting tentu dilakukan oleh lembaga pendidikan. Disinilah peran mahasiswa diperlukan sebagai salah satu sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk meningkatkan daya saing teknologi nasional.

Mahasiswa sebagai motor utama penelitian dari lembaga pendidikan sudah seharusnya terhubungan dengan industri nasional. Apa yang terjadi jika ternyata motor tersebut ternyata tidak banyak bekerja seperti yang seharusnya? Bukan hanya masa kini dari IPTEK Indonesia, tetapi juga masa depan bangsa ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan kehancuran IPTEK nasional berujung pada kehancuran-kehancuran yang lain. Bagi saya, IPTEK sudah tentu bukan melulu soal akademik, namun juga pola pikir dan bidang gerakan mahasiswa.

Lantas ketika kita hanya menjadi seorang mahasiswa apakah kontribusi IPTEK sepenting itu memungkinkan? Ketika Ilmuwan-ilmuwan dan insinyur-insinyur senior kita saja tak lagi mampu menghasilkan kontribusi yang signifikan pada IPTEK, apa kita mahasiswa mampu? Bisa tentu bisa. Usia mahasiswa merupakan umur dimana manusia sedang berada pada tahap paling kreatif (Ada penelitiannya, tapi saya lupa sumbernya). Maka banyak penemuan baru serta teori-teori yang dianggap gila lahir dari orang-orang dengan rentang usia mahasiswa seperti kita ini. Sebut saja Isaac Newton. Pada tahun 1664-1666, Newton menggoncang dunia dengan tiga penemuan paling penting yang tanpanya peradaban kita takkan maju. Tiga penemuan itu merupakan kalkulus, hukum gravitasi umum dan spektrum cahaya putih. Dua tahun itu penting sekali bagi dunia dan bagi Newton. Oh, aku lupa bilang, Newton lahir pada tanggal 25 Desember 1643. Kemudian ada juga Einstein yang mempublikasikan paper tentang relativitas ketika ia berusia 26 tahun. Bayangkan saja, dia seumuran Abah ketika mengubah dunia men!

Sebuah kesalahan besar jika kita meremehkan potensi kita sendiri sebagai mahasiswa dalam bidang IPTEK. Berikutnya sekarang tinggal masalah kemauan dan ketertarikan. Fakta berikutnya dari kuesioner yang telah disebar sebelum Kabinet ini naik menunjukkan bahwa ketertarikan mahasiswa ITB terhadap IPTEK berada di posisi terakhir ketimbang masalah Kaderisasi, Sosial Politik, Pengabdian Masyarakat dan Advokasi. Kita bisa memberikan banyak pembenaran atau faktor yang mempengaruhi hasil kuesioner tersebut, namun kuesioner tetaplah kuesioner. Apapun hasilnya, ada hal yang harus berubah di kampus ITB terutama dalam dunia kemahasiswaannya. Bagaimana bisa kampus Teknologi terfavorit di Indonesia ini malah punya ketertarikan yang rendah terhadap masalah IPTEK? Padahal kita bisa memberikan rasa baru dalam pergerakan mahasiswa jika saja kita mau membumbuinya dengan IPTEK.

Mungkin saja demografi kampus ini juga menggambarkan demografi Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Punya ketertarikan yang sama rendahnya terhadap masalah IPTEK. Mari sedikit kita soroti kondisi mahasiswa dan anak-anak muda Indonesia sekarang. Setiap gerak gerik mahasiswa dan anak-anak muda hari ini, membuatku sampai pada kesimpulan bahwa kita sedang tertinggal 10-20 tahun dibelakang negara maju. Tertinggal karena kita baru ada dalam fasa “meremehkan IPTEK”. Bukan berarti tidak mengenal, tapi meremehkan IPTEK. Mudahnya saja kita liat penggunaan internet. Untuk orang Indonesia, internet hanyalah sebatas alat untuk update media sosial dan foto2 saja. Padahal kita bisa menggunakan internet sebagai media belajar tentang beragam hal. Berapa banyak coba remaja tanggung Indonesia yang update status: "Susah pisan ini ujian" ato "Duuch,, Besyok udjian tapi catetannya kosong nih". Kenapa ga buka youtube cari tutor pelajaran terkait?

Kondisi remeh ini dulu juga pernah kejadian di negara maju. Seperti pada tahun 1899 di Amerika, Charles Duell, komisioner Kantor Paten mengatakan “Semua yang harus ditemukan, sudah ditemukan”. Mentalitas ini yang sangat-sangat menghambat perkembangan teknologi. Bahkan seringkali mentalitas seperti ini datang dari ahli di bidangnya. Lalu pada tahun 1927, Harry Warner salah seorang pendiri Warner Brothers mengatakan “Siapa pula yang mau denger aktor ngomong?” Di tahun 1943 muncul lagi pernyataan Thomas Watson, Chairman IBM, “Saya pikir terdapat pasar di dunia untuk lima komputer saja”. Dengan pesimisnya dia berpikir bahwa pasar dunia hanya akan butuh lima komputer.

Sikap remeh ini juga dimiliki oleh beberapa media publik yang memberikan pengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Pada tahun 1903  tepat seminggu sebelum Wright bersaudara menerbangkan pesawat mereka, New York Times menulis “Mesin terbang hanyalah membuang waktu”. 17 tahun kemudian, Times melakukan kesalahan yang sama dengan mengkritisi ilmuwan Roket, Robert Goddard. Menurut Times, Goddard melakukan pekerjaan yang sia-sia,  Roket tidak bisa bekerja dalam keadaan vakum. 49 tahun kemudian ketika Apollo berhasil meninggalkan jejaknya di bulan, Times dipaksa memberikan pernyataan maaf karena telah melakukan kesalahan.

Sekarang coba kita lihat komplikasinya di Indonesia. Di negara kita sains dan profesi yang berkaitan seperti tidak ada harganya. Apalagi dengan hasil penemuan orang Indonesia. Kita selalu mengatakan orang Indonesia tidak mampu, padahal banyak lembaga penelitian asing yang mau melakukan apa saja agar ilmuwan Indonesia tidak meninggalkan mereka. Disisi lain banyak sekali mahasiswa kuliah masih dengan mindset bekerja bukan berkarya, dimana pada akhirnya mereka akan menghabiskan waktu lebih dari separuh hidup mereka, bekerja.

Sekarang mari kita tes pengetahuan kita tentang produk IPTEK Indonesia. Apakah anda familiar dengan kereta Maglev (Magnetic Levitation)? Atau pepaya California? Film Ipin dan Upin? Kalau teknologi 4G? Kita mampu, mampu sekali! Tetapi dimana dukungan terhadap perkembangan IPTEK Nasional? Dimana semangat berinovasi mahasiswa ITB? (Kemudian hening, tidak ada yang bersuara).


Kawan, jawaban dari pertanyaan ini akan berpengaruh pada sejarah Indonesia yang kelak akan kita tulis.

9.27.2015

4 Stage of Technology

Belakangan ini agak geram dengan komentar-komentar dan tingkah laku orang Indonesia. Dalam hal inkubasi teknologi dan inovasi, boleh dibilang orang Indonesia terhitung sebagai orang yang tidak sabar. Banyak sekali penemuan yang hancur sebelum matang. Gagasan yang mati dibunuh bahkan sebelum gagasan itu sendiri berkecambah. Ku pikir itu semua karena kegagalan kita untuk menyadari bahwa dalam proses penelitian dan pengembangan terdapat 4 stage of technology. Pemahaman akan stage of technology ini penting sekali untuk membantu kita membuat perencanaan R&D yang lebih matang dan tentunya sampai pada tahap berguna bagi masyarakat.

4 stage of technology berbicara tentang 4 tingkatan evolusi teknologi. Pada tingkat pertama, sebuah teknologi begitu berharga, bahkan sampai dijaga ketat agar tidak diketahui orang lain. Contohnya saja teknologi kertas yang kita kenal sekarang. Kertas pertama kali ditemukan di Mesir dalam bentuk Papyrus. Gulungan papyrus ini begitu berharga sampai satu gulungan saja dijaga oleh beberapa orang pendeta Mesir.

Pada tingkat yang kedua sekitar tahun 1450, ditemukan alat cetak oleh Gutenberg yang memungkinkan seseorang memiliki pengetahuan dari beberapa ratus gulungan tulisan dengan cepat. Sebelum penemuan Gutenberg, hanya terdapat 30.000 buku diseluruh Eropa. Sedangkan setelah penemuan Gutenberg, terdapat sekitar 9 juta buku. Namun pada tingkat kedua ini, teknologi tersebut masih mahal dan eksklusif untuk beberapa orang tertentu. Sebagian besar dari 9 juta buku tersebut dimiliki hanya oleh akademi dan universitas tertentu saja.

Masuk ketingkat ketiga pada tahun 1930, harga kertas menjadi sangat murah. Kertas dijual secara grosir dan besar-besaran. Kertas ada dimana-mana dan mudah ditemukan. Semua orang dapat memiliki kertas dengan harga yang murah. Sekarang, kertas sudah sampai pada tingkat keempat. Kita dapat menemukan kertas dengan beragam variasi warna, bentuk, bahan dan ukuran. Kertas menjadi kebutuhan dasar untuk beragam hal. Mulai dari untuk kepentingan akademik sampai dekorasi acara ulang tahun. Faktanya salah satu sampah terbanyak yang dihasilkan oleh kota-kota besar adalah kertas.
Sedikit mengulang dan menjelaskan, 4 stage of technology dibagi menjadi:
  1. Stage 1 (Teknologi berharga dan dirahasiakan keberadaannya dan biasanya dimiliki satu lembaga tertentu saja)
  2. Stage 2 (Teknologi menjadi lebih murah, bisa dimiliki secara personal untuk orang-orang tertentu/ekslusif)
  3. Stage 3 (Teknologi menjadi murah dan dapat ditemukan dimana saja, semua orang dapat memilikinya)
  4. Stage 4 (Teknologi menjadi jauh lebih murah dan menjadi kebutuhan dasar. Bahkan sampai terbuang sia-sia)  
Dalam pengembangan teknologi kita selalu memiliki pilihan tingkatan teknologi yang mana yang ingin kita teliti. Kematangan suatu teknologi menunjukkan di tingkat berapa teknologi tersebut berada. Semakin matang maka teknologi tersebut semakin mudah dinikmati masyarakat.


7.15.2015

Observation Upon Fellow Indonesian: 4. Biar Ngetren dan 'Gahoel'

Hello guys. Sorry for the super late post of this series. Well, untuk post yang terbaru ini gw mau bicara soal kebiasaan lain orang Indonesia. Biar ngetren, biar gaul! Kayaknya sih ini gejala nggak cuma di Indonesia aja sih. Gapapa lah yang penting asik. 

Pernah nggak sih lo sebelum makan sama temen lo, eh dia poto dulu tuh makanan buat masuk instagram? Atau sebelum lo ke pusat perbelanjaan tertentu, adek lo update Path dulu (walaupun kadang sebenernya cuma numpang lewat)? Atau ketika lo mau pergi sama temen2 lo, ngaret jauh banget dari waktu yang sudah disepakati karena pada selfie2 dulu? Atau ketika tiba2 temen2 lo make baju yang sama atau maenan yang sama atau dandanan yang sama supaya gaul? Atau ketika temen lo nge-share di medsosnya berita-berita mengejutkan (seringnya gosip2 artis)? Yang paling ngeselin kalo lo punya temen yang hobinya ngebumbuin berita2 yang beredar tanpa nyari faktanya. Dan ketika lo tanya, ngapain lo ngelakuin itu, jawabannya seragam: Biar Gahoel bro! Biar ngetren bro!



Salah satu hal yang gw observasi tiap hari tentu kerjaan adek gw. Seharian cuma buka salah satu diantara tiga ini sambil tiduran: HP, Laptop, Ipad. Kalo baterai salah satunya abis, HP orang dipakein sama dia. Buat ngecek akun2 sosmednya. Pertanyaan terbesarnnya, oke udah dipos, oke udah ngetren, terus? I don't think many of the famous even earn their fame. And fewer know how to use their fame for good. 

Nah gara2 sok ngegaul ini choi, kita bisa ngeliat banyak banget orang lupa buat ngobrol sama orang2 terdekatnya. Kita ini manusia yang pada hakikatnya tetap butuh komunikasi langsung, jangan sampai penyesalan datang di akhir brosis! Without face to face communication, kita bakalan susah memahami orang2 terdekat kita (udeh ga usah pembenaran, orang yang lo temuin di medsos rata2 temen jauh dan bahkan orang yang nggak lo kenal).Yang gw lebih heran lagi kok orang jaman sekarang bangga banget dibilang narsis yah? Padahal dulu itu penyakit mental choi. Akibatnya banyak banget orang jaman sekarang over-rate their self a little bit too much. Kasta paling hina dari anak2 'gahoel' ini yah para attention whore yang rela ngelakuin apa aja supaya dapat perhatian di media sosial. Nggak bisa juga kita salahin orangtuanya yang salah mendidik mereka. Karena they could catch the habit somewhere else. 

Selain itu ada juga jenis kedua, orang Indonesia yang hobinya nyebar gosip atau berita tanpa ngecek kebenarannya dulu. Kalo ini kayaknya lebih banyak dari generasi yang lebih tua sih. Gila men, tadinya gw pikir yang gini2 cuma ada di ftv sama sinetron doang, eh ternyata di dunia nyata juga ada. Fiks banget sih orang-orang yang besar sama infotainment kalo nggak bagus2 kontrol diri bisa2 ketularan kayak gini juga. Herannya orang Indonesia itu gullible banget men. Gampang banget ditipu2. Sepakat2 aja kalo ada berita bilang A, bilang B. Padahal kadang udah jelas ngibulnya. Ckckck. 

Kalo menurut hemat urang, penyebab umumnya ini gejala sosial namanya post-mo. Aduh, gw sotoy banget dah pake bawa2 postmodernisme. Padahal kan gw bukan orang psikologi atau sosial. Tapi ini gokil banget sob. Coba deh baca detailnya di web2 terpercaya dan google scholar. Ciri2nya jelas banget dan bisa dicocokin. Kalo mau penyebab dalam lingkup kecil, yah karena kita generasi Y dan Z. Kalo dilingkupin lebih kecil lagi kayaknya mah karena pengaruh tontonan dan teman2 'gahoel' kita. Pengaruh tontonan tampaknya syudah tidak perlu dijelaskan juga. *mungkin nanti perlu tulisan khusus mengenai program televisi Indonesia*



Kata salah satu quote: Tell me who your friends are, and I'll tell you who you are. I concur to that phrase. Nggak seratus persen memang, tapi you would likely be. Bukan gimana tapi kerasa sekali bedanya. Dulu semasa SMA, temen2 gw belum ada yang suka baca buku (apalagi soal Nasionalisme. Dulu gw doyang banget baca2 buku kayak gitu. Sampe SMA, entah udah berapakali baca Catatan Seorang Demonstran. Gw baca dari SMP kelas 2). Waktu itu gada yang nyambung gw ajak ngobrol tentang Nasionalisme. Bahkan lo bisa ngecek perbedaan isi postingan gw jaman SMA ke jaman kuliah di blog gw ini. Alhasil gw nyari apa yang mereka suka obrolin and I did leave reading until my first year of ITB. Bukan berarti gw sombong yah, tapi itu kejadiannya. Throughout the years, semakin dewasa, lo bakal semakin sadar the necessity of reading. Sampe di ITB pun pengaruh pergaulan gw juga keliatan dari postingan gw. Di tahun pertama sering gaul sama anak PMK, tahun kedua sama anak UKSU dan Kabinet, tahun ketiga  sama anak OSKM dan keempat di Kabinet. Bisa dilihat kan perbedaannya dari tulisan gw? (Sekalian promosi blog sendiri boleh dong).

Seharusnya kita sadar bahwa kita bisa punya kendali atas diri dan pikiran kita sendiri. Jangan biarkan dunia mengambil alih semua yang kita miliki tersebut. Karena ngikutin apa yang lagi 'gahoel' itu nggak akan ada abisnya. Sama aja kayak orang yang pengen kaya. No matter how much you make, you will never feel rich until you understand the word 'grateful'. So take the rudder of your mind and heart!  

Selain itu, kayak udah pernah gw bilang, kita semua harus punya pola pikir saintifik! Nggak berarti harus mikir yang berat2 kok. Simpel aja. Skeptis, hipotesis, eksperimen, analisa, simpulan. Atau disederhanakan: jangan langsung percaya, dugaan awal, cari tahu apa yang terjadi, analisa semuanya, sampe ke kesimpulan. Okay?! Jangan langsung percaya yah. And wikipedia pages do not count as truth! Kalo elo buka wikipedia, yang harusnya lo perhatiin itu cite nya. Kutipannya darimana tuh halaman wiki. Terus lo cek kutipannya. Gitu loh brosis. 


Yang terakhir, if you notice, gw pake 'gahoel' instead of gaul. Ada alasannya bero. Karena menurut gw gaul itu adalah ketika lo menjadi orang yang berdampak baik bagi orang lain. Gaul itu ketika lo ngajar anak jalanan. Gaul itu kalo lo bantuin nenek nyebrang jalan. Gaul itu ketika lo tetep rajin baca Kitab Suci di tengah kesibukan lo. Gaul itu ketika lo masih sempet nitipin doa buat sodara2 kita di Timur Tengah ketika lo berharap lulus cepet. Gaul itu ketika lo tau bahwa Alam Semesta tidak mengitari dunia elo aja. You are not the center of the universe is a certainty. However, you could contribute a verse to the history by fulfilling your vision. Berhentilah melakukan hal yang tidak berguna! Cheers :D




7.04.2015

Observation Upon Fellow Indonesian: 3. Asal Dapur Ngebul

Kembali lagi bersama Steve Yudea dalam Observation Upon Fellow Indonesian bagian 3: Asal Dapur Ngebul.

Asal dapur ngebul merupakan salah satu fenomena yang sering dijumpai terutama dikalangan mahasiswa tingkat akhir, anak SMA yang baru lulus atau ketika ngobrol santai mencari topik pembicaraan (versi paling serem: ngobrol sama calon mertua). Sering dalam obrolan kumpul keluarga, sebagai anggota keluarga berusia 20-an, dibombardir dengan obrolan mengenai pekerjaan. Dan setelah menyampaikan informasi mengenai pekerjaan yang sedang dilakukan, buntutnya.. yah lumayanlah asal dapur ngebul.



Bagi sebagian besar orang mungkin ini adalah hal yang wajar dan biasa, tapi tidak bagiku. Apa coba dasar berpikirnya yang menyebabkan orang menganggap bahwa asal dapur ngebul adalah hal yang wajar? Nah coba2 dulu yuk ditengok2 dan diobservasi. Sebelumnya, ketiga hal yang akan saya sampaikan ini nggak saklek begitu yah dan tentu semuanya berkesinambungan.

Mungkin orang Indonesia itu sebagian besar plegmatik bos, makanya jadi yasudahlah asal ngebul aja dapur, aman. Lagian kan sifat plegma kan turun semenjak seseorang lahir, sama aja kayak IQ.

HAH. TETOT! Salah besar!

Kenyataannya justru lingkungan yang menyumbang persentase terbesar terhadap seseorang. Gak cuma untuk sifat, tapi juga untuk IQ (Seriusan ngaruh biarpun ga sebesar ke sifat). Orang yang dikelilingi orang-orang yang plegma would most likely be one. Ini juga terjadi sama tontonan kita, obrolan kita, teman2 kita, bacaan kita, mainan kita, website yang kita browsing. Makanya jangan sering2 nonton yang gak jelas. Pun televisi berhenti ngasih tontonan yang tidak ubahnya tempat pembuangan sampah. Kalo nggak ada tayangan yang bermanfaat di televisi, udah ngeyoutube aja cari yang lebih bermanfaat kayak talk2 dari TED.com. Walaupun tetep masalah utamanya ada di stasiun TV yang nggak bisa ngasih tontonan berkualitas.

Mungkin juga apa yang dikerjakan itu, dia sebenernya gak senang bos.

Nah ini banget nih. Banyak diantara temen2ku (terutama dari suku Batak) ngalamin hal ini banget. Jangan jadi A, jadi B aja. Jadi dokter aja uangnya banyak. Minyak aja minyak atau tambang, gajinya gila-gilaan. Mau tau sesuatu nggak? Anak FTTM (Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan) yang baru lulus 2 tahun belakangan susah banget dapet kerja men (hasil ngobrol sama fresh graduate). Industrinya lagi kacau balau. Dan banyak yang nggak bisa meramalkan kejadian tersebut. Sebenarnya peluangnya masih banyak, tapi kalo ga punya passion disana, peluang itu nggak akan keliatan.

Tidak ada orang tua yang berniat mencelakakan anaknya (kecuali yang sakit jiwa). Namun terkadang ketidaktahuan yang membuat orang melakukan hal tersebut. Percaya atau tidak, generasi selanjutnya akan memiliki akumulasi pengetahuan yang lebih banyak daripada pendahulu mereka. Sebagai contoh, dulu sebelum ada relativitas, yang dipelajari di kelas hanyalah mekanika klasik. Atau yang orang dulu tau yah sampe mekanika klasik. Namun setelah adanya hukum relativitas, kita jadi belajar mekanika kuantum dkk. (Note that I said know not understand). Atau misalkan dulu bapak2 kita waktu kuliah nyari bahan belajar harus berjam2 di perpus, sedangkan generasi kita tinggal nunggu unduhan di komputer barang sejam atau dua jam. Semakin maju zaman, semakin mudah kita mengoleksi pengetahuan (kalo aplikasinya lain cerita :p). Sedangkan untuk memprediksi pekerjaan apa yang berpotensi, hanya sejauh mata membaca.

Nah selain karena arahan, bisa juga nih karena kita ikut2an. Sama sih sebenernya alasannya, karena gak suka nyari tahu. Kita ngelihat orang sukses ngerjain A, ngerjain B (seringnya sih nggak ngeliat jalan menuju suksesnya kek mana) terus kita jadi kepengen mengerjakan hal yang sama. Kalo kata seorang kawan sih pebisnis yang baik menciptakan hal yang baru di pasar, pebisnis yang jenius nyiptain pasarnya sendiri. Don't you ever think about the law of supply and demand? Makin ikut2an, kita nggak cuma nyusahin diri sendiri loh.

Penyebab ngerjain sesuatu yang bukan passion yang paling penting adalah: ketiadaan visi. Salah satu analogi paling terkenal di kampus Ganesha itu analogi tentang dua orang kuli bangunan yang sedang membangun. Kedua kuli tersebut ditanya mengenai apa yang sedang mereka kerjakan. Yang pertama menjawab: Saya sedang membangun gedung sekolah. Sedangkan yang kedua menjawab: saya sedang membangun gedung sekolah dimana nantinya akan ada anak2 yang sekolah didalam dan melalui pekerjaan saya mereka bisa mengenyam pendidikan. Clearly saying, yang kedua punya visi. Lah apa ngaruhnya bos? Ngaruhnya di semangat kerja dan doa yang dititip melalui setiap bata yang disusun.

Menurut gw tiga prioritas orang tua yang paling bijak adalah membantu anak mereka menemukan passion mereka, menularkan hobi pengen tahu (bisa lewat baca buku, browsing, nonton video terkait passion mereka) dan membimbing secara rohani. Karena tidak ada metode pendidikan yang lebih baik daripada hubungan (terutama antara orang tua dan anak). In case you are grown up, just do it yourself. Kenapa penting banget mengerjakan sesuatu yang disenangin? Karena tanpa antusiasme, you will only be mediocre.

Gapapalah mediocre, asal dapur ngebul
Yeh si kentang. Kalo lo ngerasa asal dapur ngebul oke kenapa lo baca artikel ini?

Mungkin juga karena kebanyakan dari kita materialisme!

Well I am going to blatantly frank with you, beberapa suku di Indonesia memang mendorong orang untuk berperilaku demikian. Memang dorongannya tujuannya untuk membuat orang sukses, namun definisi sukses tidak sesempit punya rumah gedong dan uang banyak. Kalo tujuannya itu, yah wajar banyak orang Indonesia korupsi dimana-mana. I find it whimsical and I hate it very much.

Hal lain yang mendukung munculnya materialisme adalah gaya hidup yang berbinar-binar. Banyak banget temen gw yang lebih mementingkan besok makan di restoran apa ketimbang besok mau masak apa. Entah berapa banyak orang yang lebih penting memakai baju yang paling ngetren masa kini ketimbang membetulkan rumah mereka yang sudah usang. Entah berapa banyak orang yang mendahulukan gaya ketimbang kebutuhan. Yang paling gw males kadang yang gini2 tuh kerjaan anak ngabisin uang kerja keras bapaknya. Hadeh2. Useless pig. Inget yah, kalo uang yang elo abisin bukan buat kebutuhan, you're a useless pig. USELESS PIG!

Fakta yang lebih menariknya adalah: jengjeng. Coba deh tengok daftar orang-orang terkaya dunia dan cerita dibalik kekayaan mereka. Ada gitu diantara mereka yang fokusnya nyari uang? Nggak ada choi. Mostly punya vision that revolutionize the industry in their respective fields. Kalo ada yang kaya karena keturunan pun setidaknya mereka masih bertanggung jawab dengan apa yang mereka miliki. Bahkan Bill Gates, kalo mau tau, secara akumulatif total kekayaannya yang sekarang itu cuma 40 persen dari apa yang pernah dia dapat selama karirnya. Lah 60% ilang kemana? Ke lembaga sosial dan riset doi men. Iyah disumbangin. Henry Ford bilang bisnis yang cuma mentingin uang itu bukan bisnis. Sebelum Elon Musk sukses dengan Tesla dan Solar City, dia dulu ngejual PayPal ke eBay dan dapet bagian 150 juta dollar. Kalo isi otaknya 'asal dapur ngebul', kekayaan dia nggak akan sampe belasan miliar dollar sekarang. Di kala Tesla (perusahaan mobil listrik) bakalan bangkrut dan ga punya investor, dia hampir ngabisin uang yang dia punya dari eBay untuk Tesla. Lihat kemana hal itu membawa dia hari ini. The rich does not look for money, they work to change the world and money look for them.



Beberapa waktu lalu saya pernah ngobrol dengan supir angkot. Isi obrolannya jauh lebih berbobot ketimbang kalo saya main ke sekre2 himpunan atau unit. Saya perhatikan beliau tidak pernah sekalipun berhenti untuk ngetem. Tak ada peraturan lalu lintas yang dia langgar dan dia mendahului seperlunya. Ketika ada orang yang akan menyeberang jalan, beliau menghentikan mobilnya sebentar walau berujung pada klakson mobil dan motor. Cara menyetirnya tidak sembarangan dan dia tahu banyak mengenai perda. Ketika ada yang bertanya padanya, jawabannya begitu ramah dan santun. Ia cerita hobinya di rumah adalah membaca koran dan menonton Mata Najwa. Beliau bilang ia memang sudah tua dan tak banyak lagi mimpi yang bisa beliau kerjakan, maka ia menaruh harapannya pada anak-anaknya kelak. Yang hendak beliau lakukan sekarang adalah berusaha sebaiknya untuk menjadi supir angkot yang baik. Beliau bilang pahlawan masa kini bukan yang menang berperang dengan penjajah, namun dengan ego pribadi. Bagi saya, beliau sudah memenuhi visinya, menjadi pahlawan supir angkot. Tentu saja beliau jauh lebih terpelajar dibanding kebanyakan mahasiswa. Dan angkot yang ia kemudikan, tak pernah sekalipun kosong.

    

6.29.2015

Observation Upon Fellow Indonesian: 2. Ah palingan juga...

First of all, this series of posts I called: The Observation Upon Fellow Indonesian were meant to be ajakan bukan ejekan. Ajakan untuk sama-sama memperbaiki diri menjadi warga Indonesia yang lebih baik dan pribadi yang lebih baik. So positively, let's change ourself!

Naah. Di bagian yang kedua ini, kita bakalan omongin sifat kedua yang mudah ditemuin kalo ketemu orang Indonesia: Ah palingan juga ada yang.......

Pernah dateng ke kondangan? Ya pasti perna lah yaa. Ever wonder kenapa tong-tong atau container-container plastik yang disediakan catering di samping-samping meja kok kosong? Yap. You guess it. Piring-piring dan gelas-gelas kotornya ada di kolong bangku! Bahkan pernah dalam salah satu kondangan, gw liat dengan mata kepala sendiri nih. Orang-orang makan salak terus biji beserta kulitnya dibuang aja ke bawah. Waktu ditegor dan ditanya kenapa sembarangan jawabannya simpel: Ah palingan ada yang bersihin...

Pernah jalan di trotoar kan? Kalo gapernah keterlaluan sih. Pernah negor pengemudi sepeda motor yang naik ke jalur trotoar? Gw pernah dan jawabannya simpel: Ah palingan lo juga kalo naik motor make trotoar.

Pernah ngantri di bank atau di dufan atau di busway? Satu atau dua orang doyan banget nyerobot antrian, kayak nggak puas aja kalo nggak nyerobot. Haha. Lebih ngeselin lagi  yang dorong-dorong antrian. Trus kalo ditegor jawabannya: Yah nanti gak kebagian. Ah palingan cuma beda semenit dua menit. Ah palingan juga nanti ada yang dorong lagi di belakang.

Tapi bentuk ah palingan yang paling gak gw suka itu ketika gw ketemu anak kecil yang rankingnya gak terlalu bagus terus orang tuanya bilang: ah palingan kamu gak ranking lagi.

So now, the quintessence of the problem: Berdasarkan jenis dan bentuknya ada beberapa kategori 'ah palingan' yang bisa kita peras sarinya. Jenis yang pertama menunjukkan pasif dan takut mengambil inisiatif. Jenis yang kedua menunjukkan bahwa kita terlalu banyak melihat ketidakidealan. Jenis ketiga menunjukkan rasa minder. Lantas quintessence dari ketiga hal itu apa nih? Setelah dirimang-rimang rasa-rasanya kita kurang semangat juang. Hmmmm.

Untuk menjadi pasif ketika masalah yang ditemui masih sepele tentu tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau sifat pasif ini masih melekat ketika peluang mendekat? Ketinggalan dong kita nanti bung! Haha. Satu contoh mengenai pasif yang paling ngena itu tentang kearifan lokal negeri kita tercinta men. Banyak banget orang Indonesia yang ngerasa keren kalo makan-makanan eropa, korea, jepang, amerika dkk (kok gak ada yang ngerasa keren klo makan hidangan khas etiopia yah #eh). Ampe2 difoto segala. Tapi kok jarang ada orang ngerasa kern kalo makan hidangan tradisional? Coba liat gerai2 makanan yang baru di buka di sekitaran rumahmu atau di CFD dekat rumahmu. Burger, sosis lagi burger, sosis lagi. Coba deh liat video yang satu ini.

Sebentar lagi kita bakalan masuk era perdagangan bebas ASEAN. Free flow of labor, free flow of goods, free flow of service. Lantas nilai jual apa yang benar2 bisa membedakan antara produk yang kita jual dengan orang lain? Apa yang bisa membedakan etos kerja kita dengan orang dari negara tetangga kita? Oooof. To be frank with you, only local genius (kearifan lokal) to the rescue! Lagian masa gamalu sih kita, tradisi kita malah bule yang lebih peduli *pipi merah*

[https://www.facebook.com/bbc.indonesia/videos/10155754599225434/]

Orang Indonesia juga kayaknya udah terlalu fed up sama kondisi yang tingkat ngaconya udah terlalu parah. Venal officer of any governmental, political and justice organizations bla bla bla. Kebiasaan yang udah turun temurun (buset dah, kebiasaan ato gen?). Benar memang tidak ada hal yang ideal di dunia ini. Namun justru untuk itulah kita bermimpi, kita bekerja dan kita hidup. Untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan lebih ideal kelak. Mungkin kita tak dapat menikmati dunia baru itu, namun kelak anak cucu kita yang dapat merasakannya. Tentu kita tidak mau mewariskan dunia yang hancur bukan?

Kalau ngobrol2 sama orang2, mau ngapain setelah lulus rata2 jawabannya sama. Kalo kata dosen saya, anak ITB mah ngapain kerja di perusahaan minyak? Kerja sana di pabrik tahu tempe. *ini serius*. Jawaban klisenya: butuh makan, gausah idealis2 amat, dapur harus ngebul, modal nikah. Kesimpulan singkatnya, kita punya terlalu banyak masalah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Jadi ini nih bro alasan utama kita gabisa maju2 terutama dalam hal teknologi.

Ah kentut lo. Seriusan. Coba lihat Cina deh. Tahun !950 negeri mereka lebih miskin dari kita choi. Bahkan latar belakang penggunaan sumpit karena terlalu banyak rakyat miskin disana yang ga bisa beli meja beserta alat makan yang lain *iya sih sebelum 1950 itu mah*. Beberapa tahun lalu kita hina2 barang tiruan made in china. Eh tetiba Xiaomi jadi salah satu merek HP yang bagus dan murah. You have to admit, mereka udah jauh lebih maju dari kita! Ga cuma di sektor teknologi aja choi. So, alasan lo masih valid gak?

Yang terakhir tampaknya dampak masa penjajahan yang masih lengket dengan setiap lapisan masyarakat: minder. Jahatnya kolonialisme dulu bagi saya bukan cuma mencuri sumber daya dan membunuh begitu banyak indigenous people, tapi menanamkan rasa minder di dalam diri kita. Seakan-akan ras mereka jauh lebih cerdas ketimbang kita. Bahkan sesungguhnya pengetahuan penjajah tentang penjelajahan tak sebaik orang- maluku. Pun dengan pengetahuan mereka tentang pertanian dibanding orang-orang Jawa. Kita hanya tak punya kesempatan untuk mempublikasikan pekerjaan kita. Ya, itu dulu. Namun hal ini masih sangat melekat di dalam benak kita sampe sekarang.

Ketika ada seorang bule di tempat kerja atau di sekolah kita, berapa banyak dari kita yang langsung merasa mereka lebih cerdas (lain cerita yah kalo soal day to day english conversation)? Padahal kenyataannya nggak brur. Bahkan kalo kita telusuri univ2 atau sekolah2 di US, mereka lebih takut sama orang Asia. Walaupun masih didominasi orang2 korea, jepang, china dan india, bukan tidak mungkin kelak kita dapat menjadi negara yang dihormati karena kontribusi kita terhadap dunia. Samanya kita manusia wak, jangan minder!
Kalo kata pak Freddy Zen: gak ada itu jenius. Adanya kerja keras, belajar yang bener biar pinter.

Makanya yuk kita belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Jangan pasif! Jangan minder! If you cannot find any ideal world, than make one! Because the best way to predict the future is to create it.

Mari berjuang :D

6.21.2015

Observation Upon Fellow Indonesian: 1. Lu orang apa?

Lu orang apa? Asal darimana? Suku apa? Agama apa? Jambul lo miring kemana? Susunan DNA lo kayak gimana wak?

This will be one of the very first question an Indonesian ask to you, though you are actually an Indonesian. The worst part is, beberapa dari mereka akan memperlakukan elo tergantung dari jawaban elo. Kalo sama kayak mereka, mungkin elo bakalan dibantu, tapi kalo beda...

Percaya ga lo? Nih tonton video yang satu ini sebagai pembuktian...



Walaupun social experimentnya punya kekurangan tapi cukup sahih lah untuk ngambil kesimpulan kalo rasis kecil2an itu masih ada. Mungkin seharusnya di social experiment ini, berat badan si orang yang ke wartegnya di sesuaikan juga yah. Jadi variabelnya sama semua. Hoho. Mungkin hasilnya beda, but who knows. Gw lebih sepakat kalo harga makanan di warteg atau di restoran itu bergantung sama berat badan lo. Jadi nanti ada rangenya, untuk 3 centong nasi kalo berat lo 40-60 kg harganya Rp 3000. Kalo 60-80 jadi Rp 6000 dan kalo 80-100 jadi Rp 9000. Makanya badan jangan gede2 #eh. Yak intermezzo nomor 1. Lanjut gan.

Ntar dulu, jangan2 jangan2... Kalo hal ini terjadi pada level porsi makanan di warteg doang sih gak kenapa-napa. Yang lebih berbahaya itu kalo hal kayak gini terjadi di level pimpinan-pimpinan stakeholder seluruh Indonesia. Baik itu perusahaan, pemerintahan, militer dan dunia pendidikan men. 

Yuk kita berandai andai. Bayangkan di Perusahaan Tempe Acuh Tak Acuh ada dua calon CEO, si A dan si B. Katakanlah (gausah mikir yang lain2, katakan saja) si A lebih jago dari si B. Namun para pemegang saham sesukunya sama si B. Eh tau-tau kepilih deh si B. Entah apalah yang bakal terjadi sama si perusahaan itu. Hal inilah yang kita masih perlu banyak belajar dari negara-negara maju untuk mampu bertahan di tengah persaingan global. Kita harus belajar melihat dari orang yang memiliki perbedaan dengan diri kita. Tanpa perlu kita cela orang lain karena berbeda pandangan atau berbeda apapun juga. 

Gw tengok orang-orang Indonesia banyak sekali yang tidak suka terhadap Wahyudi (ceritanya sukunya disensor). Karena masalah Palestina lah (coy ini bukan masalah agama), masalah inilah, masalah itulah. Tapi kenapa nggak kita ambil hal-hal positif yang ada di kebudayaan mereka? Orang Indonesia banyak yang mencela produk2 luar negeri ciptaan otak-otak wahyudi walaupun tetap dipake juga sih. Tapi kenapa nggak kita serap aja ilmu mereka? Salah satu (sub)ras yang paling cerdas di dunia adalah Wahyudi Ashkenazi yang udah turunannya turunan lagi dari 12 suku asli Israel. Tau nggak kenapa mereka bisa secerdas itu? Karena ibu-ibu mereka cerdas. Sewaktu hamil, saudari2 kita ini sering ngerjain soal matematika coba. Buset. Selain itu ada diet-diet khusus yang mereka makan untuk mendukung kecerdasan mereka kayak kacang-kacangan dan ikan. Yang paling keren itu, ketika mereka berusia 13 tahun, mereka sudah diajak bicara layaknya seorang dewasa. Ininih yang jauh banget dari orang Indonesia. Makanya orang Indonesia sampe umur 20 tahunan juga banyak yang masih manja, cemen, ga mandiri.

Hal diatas juga bisa kita lakukan ke suku bangsa Indonesia yang berbeda choi! Misalnya kita harus belajar bersabar layaknya orang-orang Jawa, ramah layaknya orang-orang Sunda, persistent kayak orang Batak, pintar dagang kayak orang Tionghoa, etc, etc. Yang gak disebut jangan marah.

Selain suku, yang paling sering gw liat (terutama akhir2 ini) tuh hobinya orang Indonesia ngomentarin masalah agama. Just recently booming, netizen ramai mengomentari video kesaksian artis yang pindah agama. Jujur gw jijik banget liat komen2nya. Keliatan rerata IQ-nya orang Indonesia masih hina kali. Seakan-akan takut orang lain membuat pilihan yang berbeda dengan dirinya. Insecurity has always been one of the main trait of Indonesian. Mungkin ini salah satu PR besar kita semua. Choi, kebenaran ga pernah bicara soal jumlah. Lihat Copernicus yang cuma seorang diri dan dianggap gila ternyata benar. Pun dengan Galileo, Newton, dan Einstein. Kebenaran ga bicara soal jumlah! Agama pun bukan mengenai jemaat, agama mengenai pengenalan akan Tuhan. It's always been about the depth of your relationship with God. Dan lo ga bisa ngukur kedalaman itu tanpa lo alamin, tanpa lo jalanin. Masih mending sih cuma comment aja. Yang lebih ampas lagi ada aja sebagian penduduk Indonesia yang menawarkan jabatan atau jodoh dengan menukar kepercayaan. Well, those who did, you will certainly suffer. Seriously man, lo pikir tazos apa bisa dituker2.

Kejadian yang kayak gini di Indonesia tuh sering banget brur. Trus dikomporin lagi sama media yang gak kalah ampasnya. Coba deh cek berita yang gw jijik liat komennya tadi. Di samping2 ada salah satu media online yang kompor banget dengan menambahkan judul berita 'di bulan Ramadhan". Sesungguhnya Bu Risma sebelum nutup Gang Dolly harusnya nutup kantor2 media elektronik dan cetak yang gak jelas kayak gitu dulu. Prostitusi kebenaran jauh lebih bahaya dari prostitusi nafsu. Jual idealisme jurnalistik cuma demi perhatian orang (which leads to money). Hebatnya lagi, orang Indonesia itu setali tiga uang sama media2 kayak gini. Kebanyakan dari kita gak suka ngecek dan mencari kebenaran sebelum bicara. Yang penting kita yang jadi pusat perhatian (or in other words: attention whore). Najis. Indonesians are mostly gullible alias gampang banget dikibulin men (nanti jadi part tersendiri yang bakal gw tulis juga di blog kok. Hehe). Oke, intermezzo nomor 2.

Nah terus kita harus apa dong bro? Kita harus belajar memahami orang brur. Belajar untuk tidak menghakimi sebelum kita kenal lebih dalam tentang saudara2 kita. Indonesia dibangun diatas Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika brur. Kalau kamu merasa golonganmu yang paling benar, bedamu sama penjajah kita jaman dulu apa? Diluar sana ada banyak sekali musuh bersama mengintai setiap hari. Namun tampaknya kita terlalu dibutakan dengan masalah-masalah sepele yang hanya butuh pengendalian diri untuk disingkirkan. Iya, musuh bersama itu adalah: kelaparan, kemiskinan, kebodohan, kedegilan, korupsi, et cetera. You name it. Tanpa semangat bersatu, jangan harap kelak sang Garuda akan mampu terbang kembali.

~Untuk Tuhan, bangsa dan almamater~
Steve Yudea
102.10.052

Observation Upon (Generalized) Fellow Indonesian

Hola amigos! So I've decided to make a themed blog post based on my observation upon fellow Indonesian. Of course this is not scientific, though I am trying my best to make it so. I will also put my opinion into each and every post I made in the series. I hope I could share something useful than those corny diary blog post I've posted earlier.

Anyway this serial post consists of seven alluring part that I could not reveal right now. Please do follow my post and stay a little bit longer around my blog. Just scoot around, read some of my older posts or even the corny high school cerpen.

Bahasa yang bakal gw pake bakalan nyampur antara bahasa Inggris kampungan ditambah bahasa Indonesia sok asik. Supaya cool-cool gaul asek gitu. However, it's the meaning and the context of the post that really matters. Dan kalo ga paham apa yang gw tulis (hiks... I am an idiot), please do comment and ask.

Enjoy guys! God bless you :D

6.19.2015

The Reason to Become a Scientist

20 tahun yang lalu, ketika Bluray, DVD dan VCD belum ada, hiduplah masa Laser Disc yang berukuran besar. Tahun 1996 entah bagaimana caranya orang tua gw nyewa Laser Disc yang berjudul Jurassic Park. Film tahun 1993.

Nih Laser Disc jaman dulu

Lalu di film itu gw melihat bagaimana sains dapat menghidupkan kembali Dinosaurus yang sudah jutaan tahun yang lalu punah karena meteor yang menghantam bumi (tepatnya di Yucatan). Berhubung waktu itu masih bocah, gw langsung terobsesi dengan Dinosaurus ini. Maklum karena belum ada internet waktu itu (dan keterbatasan dana), gw jadi hobi nangkring di toko buku dan perpus sekolah berjam-jam cuma buat bacain ensiklopedia mengenai kehidupan purba. Dan ketika SD, gw bercita-cita untuk menjadi Paleantologis. Gw mau nyari fossil Dinosaurus di Indonesia! *emang ada?* Oke, koreksi, gw mau nyari fossil Dinosaurus dimanapun!


Mulailah laci buku gw penuh dengan buku-buku cerita Dinosaurus. Favorit gw tentu Sauropod berukuran raksasa. Especially Ultrasaurus (yang waktu itu masih dianggap yang paling besar). Juga Parasaurolopus yang entah kenapa enak aja diliat. Nggak cuma itu, gw juga jadi rajin beliin mainan dinosaurus... Iya, gw juga bisa nyebutin nama-nama dinosaurusnya walaupun masih SD. Nerd banget yah?

Ukuran Manusia kalo dibandingkan sama sauropod

Naah tapi tapi tapi... Gw nggak boleh jadi paleantologis. Kata emak dulu: mau hidup dari apa di Indonesia jadi paleantologis? Yaaah...

Eits, terus gw tonton lagi tuh film, apa yah yang keren buat dikerjain seumur hidup... Disitu gw liat ada ilmuwan yang berperan mengidupkan kembali Dinosaurus yang udah punah. Kepikiran deh buat jadi ilmuwan yang bisa memberikan dampak yang positif bagi kehidupan umat manusia. Dan dalam kerangka waktu yang berbeda, gw ngeliat indahnya gejala-gejala fisika. Ya, Fisika adalah sebuah kacamata untuk menikmati koregorafi alam yang menari dengan indah. Mungkin manusia tidak akan pernah punya kontrol terhadap alam, kita hanya mampu mengarahkan geraknya saja. Namun itu sudah lebih dari cukup. Dan gw pun menemukan sebuah visi: menjadi ilmuwan!

6.12.2015

Terdidik dan Terpelajar

Akhir-akhir ini sering terpikir, apakah setiap orang yang telah menumpuh pendidikan dalam tahap apapun sudah bisa disebut sebagai terpelajar? Apakah ketika kita menanda tangan atau menyemprot dengan piloks seragam hitam putih yang maka kita sudah dapat disebut terpelajar? Ataukah ketika iringan massa himpunan mengantar langkah terakhir kita sebagai mahasiswa?

Saya pikir tidak semudah itu.

Ambil contoh salah satu kata yang paling disuka oleh remaja kekinian: 'ANJIR'. Remaja mana yang nggak pernah ngomong kata ini? Kalo ada yang bilang nggak pernah ngomong... boong banget anjir. Kata ini seringkali jadi pelesetan dari kata-kata kasar yang biasa dilanturkan penduduk Indonesia ketika mengalami suatu hal yang mengguncang emosi. Walaupun saya nggak paham kenapa harus binatang satu ini sih yang dijadikan umpatan. Padahal jujur aja, gw masih lebih suka ngurus anjing daripada ngurus orang. Orang banyak maunya, anjing cuma mau tiga hal (makan, minum, main). Mungkin di dimensi yang berbeda anjing pun ngomong orang sebagai umpatan.


Nih anjing American Pit Bull Terrier gw di rumah, Bumi von Ichito.

Okee, kembali ke topik anjir. Salah satu pengguna kata anjir yang paling banyak saat ini bisa dibilang adalah remaja tanggung sampai ke dewasa muda. Atau dengan kata lain anak sekolah usia SMP, SMA dan Mahasiswa bahkan pekerja- pekerja kantoran. Pertanyaan utamanya adalah, apakah mereka tahu arti kata anjir yang sebenernya?

Berdasarkan KBBI, Anjir artinya....

terusan; saluran (air); kanal
Nahlo! Artinya ada choi! Elo ngomong kagak tau artinya. Begimane dah... Katanya anak Sekolah?

 Menurut pendapat gw, terdidik adalah mereka yang tau aplikasi dari suatu hal, sering menggunakan hal tersebut berulang-ulang namun tidak paham nilai dan makna sesungguhnya. Ilmu yang didapat barangkali menjadi formalitas pengantar kerja. Sedangkan terpelejar paham seluk beluk dan makna dari ilmu yang telah di terima serta memanfaatkannya untuk berdampak.

Beda tipis namun krusial sekali dalam membangun suatu peradaban. Tanpa kaum terpelajar, suatu bangsa hanya akan menjadi alas kaki bagi bangsa-bangsa lain. Menjerit minta tolong kesana kemari seakan tak bisa ia tentukan masa depannya sendiri. Maka berhentilah belajar untuk memenuhi hal-hal trivial dan superficial atau permukaan. Karena jauh didalam kalbu sang ilmu, terdapat masa depan bagi mereka yang mendedikasikan dirinya menggali makna.

5.26.2015

[ESSAY] First Ever Essay



Here is my first essay. This essay was used to apply for Education USA Mentorship Program a few months ago. If you have anything in your mind, please do put a comment. Thanks a lot :)






My greatest inquietude came from the agrarian history of my people. Reading newspaper as a child, I found an aggravating fact about Indonesian rubber plantation farmer. They spend most of their time on the plantation only for a few dollars. Everything happened because of the material they produce worth almost nothing. The future itself never sides to them. In a globalized world, where trades become much easier and natural resources become cheaper, there is no place for a low-tech producing country like Indonesia. Let alone the live of Indonesian rubber plantation farmers. Premonitions wash my head as if I did nothing, their sweat would become blood.
On another timeline, I fell in love with physics. The first time I learn physics, suddenly everything becomes very interesting. The grace of a pendulum dancing through the choreography of physics is fascinating. The beauty of a light spectrum projected as a rainbow. That minute I knew, I would love to do physics to help my people grow.
Looking back into my recent studies in department of physics, I enthusiast in material science and engineering especially in nanocomposite polymer. I wanted to finish postgraduate studies in material science. I believe U.S. provides the best teacher, the best research facilities and the best research divisions in material science anywhere in the world. The need to study postgraduate is because I wanted to pursue my passion in material science. Becoming an expert in the field would help my people to develop their products. I do not think undergraduate studies alone adequate. It will also encourage more of my people to pursue studies in U.S.

The day I finish my studies in U.S., I would like to do a job in research and development division prior to my studies. In 3 years, I would start building my own company before moving back to Indonesia. I have faith that I could continue on building the company in Indonesia. So this would be the dawn of nanocomposite rubber industries in Indonesia. In long term, I would like to get my hands on the Indonesian ministry of Science and Technology. In the future, I wanted to be the Indonesian Minister of Science and Technology. I want to be a good role model in science and technology, giving an example leadership to my people. There is no better place for me to follow my dreams other than U.S.

5.22.2015

Puisi Kontemporer: Cinta

CINTA
CINTa CINtA
CINta CInTa CIntA
CInta CiNta CinTa CintA
Cinta cInta ciNta cinTa cintA


Cinta ditulis bagaimanapun atau disebutkan dalam bahasa manapun ga pernah akan sama dengan cinta yang ditunjukkan dengan tindakan.
Cinta yang sejati muncul bukan pada perkataan, bukan pada pikiran atau bayangan. Tapi cinta sejati muncul dari sebuah tindakkan
.


Pada Senyum yang Tak Pernah Ada

Kak
Ibu dan ayah lirih
Hanya ada aku
Dan kau pergi
Tanpa Kata

Kak
Disini bising
Akan kefana'an

Manusia berlari
Tak tentu arah
Mencari kesempurnaan palsu

Kak
Hidup tak begitu indah
Kedalaman hati
Yang tak satu setanpun tahu
Sepi, sendiri dan tidak dimengerti

Kak
Hidupku rendah
Membebani Ibu dan Ayah

Hidupku penuh kecurigaan
Hidupku penuh kebohongan
Hidupku penuh ketakutan
Hidupku penuh kemunafikan

Kak
Apa kau baik disana?

Aku rindu bersamamu
Di dunia kita
Dunia satu bahasa
Bahasa cinta Ibu pada anak-anaknya
Bahagia
Tanpa batas

Itu telah berlalu
Kau pergi tanpa jejak

Kak
Bertemukah engkau dengan Tuhan?

Tanyakan pada-Nya
Mengapa engkau yang pergi
Tanyakan
Mengapa aku yang tak pantas
Yang memiliki hidup

Kak
Apa kau kecewa padaku?
Seperti Ibu dan Ayah kecewa padaku
Apa Tuhan juga kecewa padaku?

Pada kenyataannya
Aku manusia itu
Yang tak tentu arah

Dan setelah 17 tahun ini
Lihatlah ke langit luas
Aku tak pernah menanam apa-apa
Aku tak akan kehilangan apa-apa

Kak
Kelak
Aku akan segera melihat senyum mu


4.24.2015

Memaknai Riset dan Teknologi

IPTEK sebagai Pilar Pembangunan
Mari kita mulai tulisan ini dengan sebuah pertanyaan, apa sebenarnya yang menjadi kelebihan Indonesia kita hari ini? Komoditas? Sumber Daya Manusia?

Menurut Lester Thurow, dekan MIT’s Sloan School of Management, akan terjadi pergeseran kekayaan dari negara-negara dengan pendapatan yang berasal dari sumber daya alam. Di abad ke-21, kekuatan otak, imajinasi, inovasi, pengetahuan dan teknologi akan menjadi kunci strategis kemakmuran suatu negara. Hal ini terjadi karena di masa yang akan datang  komoditas akan menjadi semakin murah, perdagangan akan semakin global dan pasar akan saling terhubung melalui media elektronik. Ditambah lagi perkembangan teknologi dalam 4 stage of technology (akan saya jelaskan belakangan). Diantara tahun 1970 sampai 1990 sendiri sudah terjadi pengurangan harga-harga berbagai sumber daya alam sampai dengan 60%. Thurow sendiri memprediksi pengurangan harga sebesar 60% tersebut akan terjadi lagi pada tahun 2020.

Tak heran jika IPTEK pun menjadi salah satu pilar utama pembangunan seperti yang tertulis pada kebijakan strategis Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Tanpa pengembangan IPTEK yang matang, kita masih hanya akan menjadi mainan negara-negara maju. Apalagi melihat globalisasi yang sudah di depan mata. Maka seberapa penting IPTEK bagi Indonesia? Sepenting Proklamasi oleh Bung Karno di Menteng dulu. Remehkan IPTEK, maka kita telah menghilangkan makna dari Proklamasi Kemerdekaan bangsa ini. Beneran, serius gua. Pendapatan negara semakin lama semakin kecil, cuma punya sumber daya mentah doang untuk dijual keluar.

Keadaan IPTEK Bangsa Indonesia Hari Ini
Salah satu faktor dalam indeks daya saing suatu negara adalah indeks kesiapan teknologi (WEF, 2013). Indeks ini diperoleh dengan banyak sekali parameter penilaian seperti kebijakan suatu negara, besarnya APB yang dicurahkan untuk ristek dan sebagainya. Jangkauan dari indeks ini sendiri mulai dari 1-7, dimana 7 menunjukkan kesiapan yang terbaik. Pada tahun 2013-2014, Indonesia mampu mencapai indeks kesiapan teknologi 3,66. Waah lebih dari 3,5. Tapi jangan senang dulu, karena negara kita berada pada peringkat 75 dunia. Jika dilihat dari tahun sebelumnya pun kita mengalami penurunan. 


Parameter lain yang menjadi penilaian adalah indeks inovasi. Indeks inovasi Indonesia pada tahun 2013-2014 mencapai 3,82. Indeks ini cukup untuk mendongkrak Indonesia pada peringkat 33 dunia dalam indeks inovasi. Sama seperti indeks kesiapan teknologi, indeks inovasi inipun bersifat naik-turun terhadap negara lain jika melihat kurun waktu 5 tahun belakangan.  


Dalam sumberdaya IPTEK, Indonesia memiliki investasi IPTEK nasional sebesar 0,08% PDB serta jumlah peneliti per 1 juta penduduk sebesar 518 peneliti. Namun demikian, Indonesia masih sangat lemah jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Dengan kata lain IPTEK di Indonesia masih belum menjadi hal penting seperti di negara lain.


Produktivitas IPTEK Indonesia pun selaras dengan sumberdaya manusia yang dimiliki, masih sangat rendah. Di ASEAN saja kita hanya menduduki peringkat empat dengan selisih jurnal per tahun yang cukup besar dengan Singapura, Malaysia dan Thailand. Padahal penelitian tanpa jurnal ibarat lulus tanpa ijazah. Kita tidak punya bukti tertulis yang menyatakan kita telah melalui proses pendidikan ataupun penelitian.


Kesemua hal tersebut berujung pada kegagalan meningkatkan nilai tambah produk. Sehingga mengakibatkan Indonesia berada dalam Middle Income Trap. Pada tahun 1990, Indonesia masuk ke dalam golongan negara dengan pendapatan menengah  ke bawah atau lower-middle income country. Sampai sekarang bahkan kita belum masuk ke dalam golongan negara dengan pendapatan menengah ke atas atau upper-middle income country.
Masuk ke dalam middle income trap berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang berada dalam kondisi stagnan, karena kita masih belum mampu untuk tumbuh menjadi negara maju. Faktanya dari 101 negara yang pada tahun 1960 tergolong ke dalam negara berpendapatan menengah, hanya ada 13 negara yang berhasil lepas dari jebakan tersebut. Perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut lahir dari perlambatan pertumbuhan produktivitas. Ini erat sekali kaitannya terhadap kemampuan daya saing Indonesia terhadap negara lain, yaitu negara dengan pendapatan rendah dan tinggi. Persaingan dengan negara berpenpatan rendah merupakan persaingan kuantitas sdm dengan upah rendah yang bisa diberikan untuk industri. Sedangkan dengan negara maju merupakan persaingan menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi, buah inovasi dan teknologi.


Untuk keluar dari middle income trap, maka mari kita bandingkan diri dengan negara maju agar kita bisa bersaing. Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, negara maju menghasilkan produk yang merupakan hasil inovasi dan teknologi. Pemanfaatan teknologi untuk produk yang mereka hasilkan memperhatikan sekali tiga faktor ini: kesiapan pengguna teknologi, kesiapan teknologi dan yang terakhir adalah efektivitas komunikasi dan intermediasi penyedia dan pengguna teknologi. Negera maju sangat memperhatikan ketiga faktor tersebut. Salah satu kunci yang sangat erat dengan kehidupan mahasiswa adalah integrasi antara lembaga riset dengan industri.

Di Jerman, investasi yang dilakukan pada proses riset 66% berasal dari industri, 4% dari luar negeri sedangkan 30% sisanya berasal dari negara. Ini cukup berbeda dengan yang kondisi negara kita. Selain dari persentase, jumlah dari dana yang dikucurkan untuk perkembangan IPTEK sendiri sangat kecil. Kecenderungan industri dalam negeri sendiri adalah untuk mengadopsi teknologi dari luar negeri, tanpa memperhatikan kualitas teknologi yang dihasilkan anak bangsa. Proses riset ini sendiri bisa dijalankan oleh beberapa lembaga seperti lembaga litbang dan yang paling penting tentu dilakukan oleh lembaga pendidikan. Disinilah peran mahasiswa diperlukan sebagai salah satu sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk meningkatkan daya saing teknologi nasional.

Mahasiswa sebagai motor utama penelitian dari lembaga pendidikan sudah seharusnya terhubungan dengan industri nasional. Apa yang terjadi jika ternyata motor tersebut ternyata tidak banyak bekerja seperti yang seharusnya? Bukan hanya masa kini dari IPTEK Indonesia, tetapi juga masa depan bangsa ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan kehancuran IPTEK nasional berujung pada kehancuran-kehancuran yang lain. Bagi saya, IPTEK sudah tentu bukan melulu soal akademik, namun juga pola pikir dan bidang gerakan mahasiswa.

Lantas ketika kita hanya menjadi seorang mahasiswa apakah kontribusi IPTEK sepenting itu memungkinkan? Ketika Ilmuwan-ilmuwan dan insinyur-insinyur senior kita saja tak lagi mampu menghasilkan kontribusi yang signifikan pada IPTEK, apa kita mahasiswa mampu? Bisa tentu bisa. Usia mahasiswa merupakan umur dimana manusia sedang berada pada tahap paling kreatif (Ada penelitiannya, tapi saya lupa sumbernya). Maka banyak penemuan baru serta teori-teori yang dianggap gila lahir dari orang-orang dengan rentang usia mahasiswa seperti kita ini. Sebut saja Isaac Newton. Pada tahun 1664-1666, Newton menggoncang dunia dengan tiga penemuan paling penting yang tanpanya peradaban kita takkan maju. Tiga penemuan itu merupakan kalkulus, hukum gravitasi umum dan spektrum cahaya putih. Dua tahun itu penting sekali bagi dunia dan bagi Newton. Oh, aku lupa bilang, Newton lahir pada tanggal 25 Desember 1643. Kemudian ada juga Einstein yang mempublikasikan paper tentang relativitas ketika ia berusia 26 tahun. Bayangkan saja, dia seumuran Abah ketika mengubah dunia men!

Sebuah kesalahan besar jika kita meremehkan potensi kita sendiri sebagai mahasiswa dalam bidang IPTEK. Berikutnya sekarang tinggal masalah kemauan dan ketertarikan. Fakta berikutnya dari kuesioner yang telah disebar sebelum Kabinet ini naik menunjukkan bahwa ketertarikan mahasiswa ITB terhadap IPTEK berada di posisi terakhir ketimbang masalah Kaderisasi, Sosial Politik, Pengabdian Masyarakat dan Advokasi. Kita bisa memberikan banyak pembenaran atau faktor yang mempengaruhi hasil kuesioner tersebut, namun kuesioner tetaplah kuesioner. Apapun hasilnya, ada hal yang harus berubah di kampus ITB terutama dalam dunia kemahasiswaannya. Bagaimana bisa kampus Teknologi terfavorit di Indonesia ini malah punya ketertarikan yang rendah terhadap masalah IPTEK? Padahal kita bisa memberikan rasa baru dalam pergerakan mahasiswa jika saja kita mau membumbuinya dengan IPTEK.

Mungkin saja demografi kampus ini juga menggambarkan demografi Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Punya ketertarikan yang sama rendahnya terhadap masalah IPTEK. Mari sedikit kita soroti kondisi mahasiswa dan anak-anak muda Indonesia sekarang. Setiap gerak gerik mahasiswa dan anak-anak muda hari ini, membuatku sampai pada kesimpulan bahwa kita sedang tertinggal 10-20 tahun dibelakang negara maju. Tertinggal karena kita baru ada dalam fasa “meremehkan IPTEK”. Bukan berarti tidak mengenal, tapi meremehkan IPTEK. Mudahnya saja kita liat penggunaan internet. Untuk orang Indonesia, internet hanyalah sebatas alat untuk update media sosial dan foto2 saja. Padahal kita bisa menggunakan internet sebagai media belajar tentang beragam hal. Berapa banyak coba remaja tanggung Indonesia yang update status: "Susah pisan ini ujian" ato "Duuch,, Besyok udjian tapi catetannya kosong nih". Kenapa ga buka youtube cari tutor pelajaran terkait?

Kondisi remeh ini dulu juga pernah kejadian di negara maju. Seperti pada tahun 1899 di Amerika, Charles Duell, komisioner Kantor Paten mengatakan “Semua yang harus ditemukan, sudah ditemukan”. Mentalitas ini yang sangat-sangat menghambat perkembangan teknologi. Bahkan seringkali mentalitas seperti ini datang dari ahli di bidangnya. Lalu pada tahun 1927, Harry Warner salah seorang pendiri Warner Brothers mengatakan “Siapa pula yang mau denger aktor ngomong?” Di tahun 1943 muncul lagi pernyataan Thomas Watson, Chairman IBM, “Saya pikir terdapat pasar di dunia untuk lima komputer saja”. Dengan pesimisnya dia berpikir bahwa pasar dunia hanya akan butuh lima komputer.

Sikap remeh ini juga dimiliki oleh beberapa media publik yang memberikan pengaruh terhadap pola pikir masyarakat. Pada tahun 1903  tepat seminggu sebelum Wright bersaudara menerbangkan pesawat mereka, New York Times menulis “Mesin terbang hanyalah membuang waktu”. 17 tahun kemudian, Times melakukan kesalahan yang sama dengan mengkritisi ilmuwan Roket, Robert Goddard. Menurut Times, Goddard melakukan pekerjaan yang sia-sia,  Roket tidak bisa bekerja dalam keadaan vakum. 49 tahun kemudian ketika Apollo berhasil meninggalkan jejaknya di bulan, Times dipaksa memberikan pernyataan maaf karena telah melakukan kesalahan.

Sekarang coba kita lihat komplikasinya di Indonesia. Di negara kita sains dan profesi yang berkaitan seperti tidak ada harganya. Apalagi dengan hasil penemuan orang Indonesia. Kita selalu mengatakan orang Indonesia tidak mampu, padahal banyak lembaga penelitian asing yang mau melakukan apa saja agar ilmuwan Indonesia tidak meninggalkan mereka. Disisi lain banyak sekali mahasiswa kuliah masih dengan mindset bekerja bukan berkarya, dimana pada akhirnya mereka akan menghabiskan waktu lebih dari separuh hidup mereka, bekerja.

Sekarang mari kita tes pengetahuan kita tentang produk IPTEK Indonesia. Apakah anda familiar dengan kereta Maglev (Magnetic Levitation)? Atau pepaya California? Film Ipin dan Upin? Kalau teknologi 4G? Kita mampu, mampu sekali! Tetapi dimana dukungan terhadap perkembangan IPTEK Nasional? Dimana semangat berinovasi mahasiswa ITB? (Kemudian hening, tidak ada yang bersuara).

Kawan, jawaban dari pertanyaan ini akan berpengaruh pada sejarah Indonesia yang kelak akan kita tulis.

4 stage of tech dan caveman principle
Setelah sadar akan kondisi IPTEK bangsa dan jika anda tergerak untuk mengembangkannya,baca dulu nih cerita tentang 4 stage of technology dan caveman principle. Kedua istilah ini penting untuk kita pahami dalam pengembangan IPTEK.

4 stage of technology berbicara tentang 4 tingkatan evolusi teknologi. Pada tingkat pertama, sebuah teknologi begitu berharga, bahkan sampai dijaga ketat agar tidak diketahui orang lain. Contohnya saja teknologi kertas yang kita kenal sekarang. Kertas pertama kali ditemukan di Mesir dalam bentuk Papyrus. Gulungan papyrus ini begitu berharga sampai satu gulungan saja dijaga oleh beberapa orang pendeta Mesir.

Pada tingkat yang kedua sekitar tahun 1450, ditemukan alat cetak oleh Gutenberg yang memungkinkan seseorang memiliki pengetahuan dari beberapa ratus gulungan tulisan dengan cepat. Sebelum penemuan Gutenberg, hanya terdapat 30.000 buku diseluruh Eropa. Sedangkan setelah penemuan Gutenberg, terdapat sekitar 9 juta buku. Namun pada tingkat kedua ini, teknologi tersebut masih mahal dan eksklusif untuk beberapa orang tertentu. Sebagian besar dari 9 juta buku tersebut dimiliki hanya oleh akademi dan universitas tertentu saja.

Masuk ketingkat ketiga pada tahun 1930, harga kertas menjadi sangat murah. Kertas dijual secara grosir dan besar-besaran. Kertas ada dimana-mana dan mudah ditemukan. Semua orang dapat memiliki kertas dengan harga yang murah. Sekarang, kertas sudah sampai pada tingkat keempat. Kita dapat menemukan kertas dengan beragam variasi warna, bentuk, bahan dan ukuran. Kertas menjadi kebutuhan dasar untuk beragam hal. Mulai dari untuk kepentingan akademik sampai dekorasi acara ulang tahun. Faktanya salah satu sampah terbanyak yang dihasilkan oleh kota-kota besar adalah kertas.
Sedikit mengulang dan menjelaskan, 4 stage of technology dibagi menjadi:
  1. Stage 1 (Teknologi berharga dan dirahasiakan keberadaannya dan biasanya dimiliki satu lembaga tertentu saja)
  2. Stage 2 (Teknologi menjadi lebih murah, bisa dimiliki secara personal untuk orang-orang tertentu/ekslusif)
  3. Stage 3 (Teknologi menjadi murah dan dapat ditemukan dimana saja, semua orang dapat memilikinya)
  4. Stage 4 (Teknologi menjadi jauh lebih murah dan menjadi kebutuhan dasar. Bahkan sampai terbuang sia-sia)  
Dalam pengembangan teknologi kita selalu memiliki pilihan tingkatan teknologi yang mana yang ingin kita teliti. Kematangan suatu teknologi menunjukkan di tingkat berapa teknologi tersebut berada. Semakin matang maka teknologi tersebut semakin mudah diperoleh masyarakat.

4 Stage of Technology4 Stage of Technology

Caveman principle sendiri merupakan sifat manusia yang secara genetik ada. Prinsip ini sudah ada semenjak 100.000 tahun yang lalu, Homo sapiens pertama diperkirakan hidup. Ya, Homo sapiens yang ada 100.000 tahun yang lalu itu pada umumnya masih sama dengan Homo sapiens masa kini secara genetik. Contoh dari caveman principle sendiri misalkan leluhur kita jaman dulu selalu membutuhkan “Bukti hasil berburu”. Tidak ada gunanya leluhur kita bercerita tentang mammoth berukuran sangat besar tanpa bisa membawa bangkai mammoth besar tersebut. Leluhur kita berkomunikasi tatap muka secara langsung. Itulah sebabnya rapat online tidak akan pernah berhasil menggantikan rapat secara langsung. Begitu juga jika kita ingin ngobrol dengan teman kita. Pasti kita lebih memilih bertemu langsung ketimbang sekedar menelpon dan sms. Itulah penyebabnya walaupun sudah ada televisi tetapi konser dan theater masih laku. Walaupun sudah ada tablet untuk membaca buku elektronik tetapi buku fisik masih saja laku. Manusia memang pada umumnya punya kecenderungan untuk memiliki keduanya. Namun jika manusia dihadapkan pada dua pilihan antara high tech atau high touch, manusia pasti akan memilihhigh touch.

Penampilan boleh beda. Genetik mah masih manusia gua.
Penampilan boleh beda. Genetik mah masih manusia gua.

Perkembangan teknologi harus memperhatikan kedua hal tersebut. Apalagi ketika berbicara tentang daya saing Indonesia di mata insan-insan teknologi dunia.Karena kedua hal tersebut erat hubungannya dengan kebutuhan pasar masyarakat global.

Ciri khas teknologi tersendiri.
Mari kita melihat kebijakan riset dan teknologi dari Jepang. Seperti yang kita ketahui, Jepang tidaklah dibangun dalam waktu sehari (itu mah roma). Perkembangan riset dan teknologi serta daya saing Jepang juga punya masa-masa kegelapan. Kebangkitan Riset dan Teknologi Jepang dimulai dengan kebijakan yang dibuat pada tahun 1995 yang disusul perencanaan strategis per lima tahun dimulai pada periode 1996-2000. Isi dari perencanaan strategis periode awal itu sendiri berisi tentang:
  1. Penguatan hubungan antara industri, universitas dan lembaga riset pemerintah
  2. Promosi terhadap perusahaan baru yang berbasis teknologi atau ide dari universitas dan lembaga riset.
  3. Peningkatan dukungan untuk ilmuwan muda dengan meningkatkan jumlah beasiswa S-2 dan S-3
  4. Memberikan kemudahan bagi ilmuwan untuk menjalankan profesinya
  5. Mengadakan lebih banyak kompetisi yang berkaitan dengan dana riset
  6. Peningkatan sumber daya yang diberikan pemerintah dalam riset dan teknologi.
Pada periode 2001-2005, selain perencanaan strategis diatas, juga ditambahkan empat bidang prioritas utama beserta empat bidang prioritas kedua. Perencanaan ini menjadi koridor untuk persiapan serta disribusi pembagian sumberdaya  riset dan teknologi nasional Jepang.
Keempat bidang prioritas utama tersebut adalah: life sciences, information and communication, environment, and nanotechnology/material. Sedangkan empat bidang prioritas kedua adalah: energy, manufacturing technology, social infrastructure dan frontiers (space and oceans). Bidang prioritas utama menelan 45% dari dana Ristek Nasional, sedangkan bidang prioritas kedua menelan 38%.

Dengan demikian dalam tahun-tahun kedepan, kita akan melihat Jepang memiliki ciri khas  tersendiri dalam bidang-bidang tersebut. Perencanaan seperti inilah yang dibutuhkan Indonesia. Karena tidak semua bidang sesuai dengan sumber daya yang dimiliki oleh bangsa kita. Sehingga pada akhirnya kita harus membuat prioritas tersebut.

Indonesia sendiri sudah memiliki beberapa bidang prioritas riset yaitu:
Pangan
Kesehatan dan Obat
Energi
Infrastruktur
Material maju
Sistem Teknologi dan Informasi


Apa yang bisa dilakukan sebagai mahasiswa?
Seperti telah disebutkan sebelumnya, salah satu parameter penting dalam perkembangan IPTEK adalah integrasi antara universitas, lembaga penelitian dan industri. Di negara maju seperti Jerman saja, salah satu penyumbang terbesar dana riset adalah industri. Selain integrasi tersebut, perlu diketahui mahasiswa memiliki potensi yang besar juga dalam bidang IPTEK.

Yang terpenting mindsetnya jangan bekerja, berkarya!
Yang terpenting mindsetnya jangan bekerja, berkarya!

Kita bisa berkontribusi terhadap dunia sains dan perkembangan IPTEK Indonesia! Apa saja yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi? Yang pertama, belajar dengan semangat danpassion (ya iyalah). Kemudian kita bisa dengan konstan menantang setiap ilmu-ilmu yang telah kita pelajari kedalam aplikasi nyata atau dengan kata lain melakukan riset. Salah satu senjata utama mahasiswa yang tidak dimiliki oleh ilmuwan senior adalah kreativitas. Itulah mengapa ide-ide liar para ilmuwan rata-rata datang di usia muda. Di usia yang sudah lebih tua, kebanyakan manusia menjadi semakin pesimis dan satir, konservatif. Inilah yang menjadi jangkar tersendiri bagi perahu imajinasi ilmuwan senior. Maka disinilah seharusnya kita sebagai mahasiswa memaksimalkan potensi kita. Sebelum perahu imajinasi kita semakin sulit bergerak.

Salah satu contohnya adalah kisah hidup Albert Einstein. Seperti yang kita tahu, relativitas bisa disebut sebagai ‘holy grail’ dunia fisika. Relativitas lahir dari imajinasi luar biasa seorang Einstein. Tapi Einstein di usia yang memasuki umur 48 tahun pada konferensi Solvay 1927, menentang dengan keras ide dasar fisika kuantum. Bahkan ia berdebat siang dan malam dengan Niels Bohr. Ada sesuatu tentang imajinasinya yang menolak keberadaan fisika kuantum. Beliau menolak unsur probabilitas dalam mekanika kuantum. Sedangkan usahanya untuk menemukan ‘theory of everything’ juga menemui kegagalan. Setelah itu Einstein tak lagi produktif dalam dunia fisika. Keyakinan Einstein yang menolak keberadaan Fisika Kuantum dan ketidakberdayaannya membantah Niels Bohr, bertahan sampai akhir hayatnya. 


Mimpi, tantangan dan tanya
Sesudah kita paham tentang urgensi dan apa yang bisa kita lakukan,kita juga perlu tahu bahwa berbicara tentang IPTEK di Indonesia sulit sekali untuk melepaskan diri dari jeratPolitical Will. Di negara ini, sapi dan tongkat golf pun dipolitisasi. Mau kemampuan IPTEK kita secanggih apapun, tanpa political will yang tepat dan dalam porsi yang tepat semua hanya mimpi. Sama seperti keinginan kita untuk merdeka dan mandiri.

Indonesia terus berlari dari tangan-tangan biadab yang ingin mencuri. Mencuri kekayaan alam dari Indonesia. Pada akhirnya sampailah kita pada sebuah ujung dari itu semua. Barangkali juga ujung bagi bangsa ini. Dinding-dinding peradaban menahan laju kita. Menatap dengan tawa dan hinaan yang menyakitkan. Dengan kesal kita menghantamnya, namun momentum merusak kepalan tangan kita. Kita tau kita tak bisa melawannya, karena kita lemah. Kita tak bisa melawan, karena tak pernah melatih diri untuk menghancurkan tembok-tembok tersebut. Tangan-tangan biadab itupun menjadi kian dekat. Tidak ada yang menjanjikan tanah penuh madu dibalik tembok peradaban. Tapi lebih baik berlari melewati tembok tersebut sebagai satu bangsa yang merdeka, ketimbang melewatinya diseret-seret oleh tangan-tangan tersebut. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk memilih. Apa anda, saya, kita akan menyerah? Justru karena kita tahu kita lemah, sekarang kita punya alasan untuk menjadi kuat.

Seperti yang pernah dikatakan Eisenhower dulu, “Pesimisme tidak pernah memenangkan perang”. Perang kita sekarang adalah terhadap kebodohan dan penjajahan intelektual. Agar kelak anak-anak bangsa mampu bersaing di pasar global. Kita tidak boleh pesimis. Mulai dari kampus kita, menuju Indonesia. Di suatu hari di masa depan.

69 tahun lalu di depan Istana Bogor, Bung Hatta bertanya pada Bung Karno. Jika kelak kita merdeka nanti, apa bung yakin kita akan mampu mengelola bangsa ini? Apa bung yakin kita akan mampu memimpin 70 juta rakyat Indonesia? Apa bung yakin kita dapat hidup sejahtera? Lalu Bung Karno menjawab Yakin bung! 100% yakin! Kita percayakan anak cucu kita nanti untuk mengelolanya. Jika ternyata saya salah, biar sejarah yang membersihkan nama kita. 


Karena kita sudah merdeka dan waktu mereka telah lalu, tibalah pertanyaan yang sama menghampiri anda dan saya. Apa anda yakin, kita mampu bung? Mari kita tulis sejarah Indonesia yang baru. Semoga kelak sejarah yang baru itu tak lagi berbicara tentang kemiskinan dan sengsara namun kemerdekaan dan kesejahteraan.

Untuk Tuhan, Bangsa dan Almamater.
Steve Yudea
102.10.052
Menteri Riset dan Teknologi
Kabinet Seru KM-ITB 2014/2015

Referensi
[1] Isaacson, Walter. 2008. Einstein: His Life and Universe. London: Pocket Books.
[2] Kaku, Michio. 1998. Visions: How Science Will Revolutionize the 21st Century. New York: Anchor Books.
[3] Kaku, Michio. 2011. Physics of the Future: How Science Will Shape Human Destiny and Our Daily Lives by the Year 2100. New York: Doubleday.
[4] Kartika, Sweta, 2014. Nusantaranger. (comic.Nusantaranger.com/, diakses pada tanggal 23 September 2014)
[5] Kemenristek RI, 2014. Draft (4) Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tahun 2014-2019.(http://www.ristek.go.id/file/upload/Draft_Jakstranas_Iptek_2015-2019_(Draft%204)-20140401.pdf., diakses tanggal 23 September 2014).
[6] McRae, Hamish. 1995. The World in 2020: Power, Culture, and Prospertity. Cambridge, MA: Harvard Business School.
[7] OECD, 2012. Science and Innovation: Germany, [pdf]. (www.oecd.org/germany/sti-outlook-2012-germany.pdf, diakses tanggal 23 September 2014)
[8] Pragiwaksono, Pandji. 2014. Indiepreneur: Berkarya dan Merdesa. Jakarta: WYSDN.
[9] Stenberg, Lennart. 2004. Government Research and Innovation Policies in Japan. Stockholm: ITPS.