7.04.2015

Observation Upon Fellow Indonesian: 3. Asal Dapur Ngebul

Kembali lagi bersama Steve Yudea dalam Observation Upon Fellow Indonesian bagian 3: Asal Dapur Ngebul.

Asal dapur ngebul merupakan salah satu fenomena yang sering dijumpai terutama dikalangan mahasiswa tingkat akhir, anak SMA yang baru lulus atau ketika ngobrol santai mencari topik pembicaraan (versi paling serem: ngobrol sama calon mertua). Sering dalam obrolan kumpul keluarga, sebagai anggota keluarga berusia 20-an, dibombardir dengan obrolan mengenai pekerjaan. Dan setelah menyampaikan informasi mengenai pekerjaan yang sedang dilakukan, buntutnya.. yah lumayanlah asal dapur ngebul.



Bagi sebagian besar orang mungkin ini adalah hal yang wajar dan biasa, tapi tidak bagiku. Apa coba dasar berpikirnya yang menyebabkan orang menganggap bahwa asal dapur ngebul adalah hal yang wajar? Nah coba2 dulu yuk ditengok2 dan diobservasi. Sebelumnya, ketiga hal yang akan saya sampaikan ini nggak saklek begitu yah dan tentu semuanya berkesinambungan.

Mungkin orang Indonesia itu sebagian besar plegmatik bos, makanya jadi yasudahlah asal ngebul aja dapur, aman. Lagian kan sifat plegma kan turun semenjak seseorang lahir, sama aja kayak IQ.

HAH. TETOT! Salah besar!

Kenyataannya justru lingkungan yang menyumbang persentase terbesar terhadap seseorang. Gak cuma untuk sifat, tapi juga untuk IQ (Seriusan ngaruh biarpun ga sebesar ke sifat). Orang yang dikelilingi orang-orang yang plegma would most likely be one. Ini juga terjadi sama tontonan kita, obrolan kita, teman2 kita, bacaan kita, mainan kita, website yang kita browsing. Makanya jangan sering2 nonton yang gak jelas. Pun televisi berhenti ngasih tontonan yang tidak ubahnya tempat pembuangan sampah. Kalo nggak ada tayangan yang bermanfaat di televisi, udah ngeyoutube aja cari yang lebih bermanfaat kayak talk2 dari TED.com. Walaupun tetep masalah utamanya ada di stasiun TV yang nggak bisa ngasih tontonan berkualitas.

Mungkin juga apa yang dikerjakan itu, dia sebenernya gak senang bos.

Nah ini banget nih. Banyak diantara temen2ku (terutama dari suku Batak) ngalamin hal ini banget. Jangan jadi A, jadi B aja. Jadi dokter aja uangnya banyak. Minyak aja minyak atau tambang, gajinya gila-gilaan. Mau tau sesuatu nggak? Anak FTTM (Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan) yang baru lulus 2 tahun belakangan susah banget dapet kerja men (hasil ngobrol sama fresh graduate). Industrinya lagi kacau balau. Dan banyak yang nggak bisa meramalkan kejadian tersebut. Sebenarnya peluangnya masih banyak, tapi kalo ga punya passion disana, peluang itu nggak akan keliatan.

Tidak ada orang tua yang berniat mencelakakan anaknya (kecuali yang sakit jiwa). Namun terkadang ketidaktahuan yang membuat orang melakukan hal tersebut. Percaya atau tidak, generasi selanjutnya akan memiliki akumulasi pengetahuan yang lebih banyak daripada pendahulu mereka. Sebagai contoh, dulu sebelum ada relativitas, yang dipelajari di kelas hanyalah mekanika klasik. Atau yang orang dulu tau yah sampe mekanika klasik. Namun setelah adanya hukum relativitas, kita jadi belajar mekanika kuantum dkk. (Note that I said know not understand). Atau misalkan dulu bapak2 kita waktu kuliah nyari bahan belajar harus berjam2 di perpus, sedangkan generasi kita tinggal nunggu unduhan di komputer barang sejam atau dua jam. Semakin maju zaman, semakin mudah kita mengoleksi pengetahuan (kalo aplikasinya lain cerita :p). Sedangkan untuk memprediksi pekerjaan apa yang berpotensi, hanya sejauh mata membaca.

Nah selain karena arahan, bisa juga nih karena kita ikut2an. Sama sih sebenernya alasannya, karena gak suka nyari tahu. Kita ngelihat orang sukses ngerjain A, ngerjain B (seringnya sih nggak ngeliat jalan menuju suksesnya kek mana) terus kita jadi kepengen mengerjakan hal yang sama. Kalo kata seorang kawan sih pebisnis yang baik menciptakan hal yang baru di pasar, pebisnis yang jenius nyiptain pasarnya sendiri. Don't you ever think about the law of supply and demand? Makin ikut2an, kita nggak cuma nyusahin diri sendiri loh.

Penyebab ngerjain sesuatu yang bukan passion yang paling penting adalah: ketiadaan visi. Salah satu analogi paling terkenal di kampus Ganesha itu analogi tentang dua orang kuli bangunan yang sedang membangun. Kedua kuli tersebut ditanya mengenai apa yang sedang mereka kerjakan. Yang pertama menjawab: Saya sedang membangun gedung sekolah. Sedangkan yang kedua menjawab: saya sedang membangun gedung sekolah dimana nantinya akan ada anak2 yang sekolah didalam dan melalui pekerjaan saya mereka bisa mengenyam pendidikan. Clearly saying, yang kedua punya visi. Lah apa ngaruhnya bos? Ngaruhnya di semangat kerja dan doa yang dititip melalui setiap bata yang disusun.

Menurut gw tiga prioritas orang tua yang paling bijak adalah membantu anak mereka menemukan passion mereka, menularkan hobi pengen tahu (bisa lewat baca buku, browsing, nonton video terkait passion mereka) dan membimbing secara rohani. Karena tidak ada metode pendidikan yang lebih baik daripada hubungan (terutama antara orang tua dan anak). In case you are grown up, just do it yourself. Kenapa penting banget mengerjakan sesuatu yang disenangin? Karena tanpa antusiasme, you will only be mediocre.

Gapapalah mediocre, asal dapur ngebul
Yeh si kentang. Kalo lo ngerasa asal dapur ngebul oke kenapa lo baca artikel ini?

Mungkin juga karena kebanyakan dari kita materialisme!

Well I am going to blatantly frank with you, beberapa suku di Indonesia memang mendorong orang untuk berperilaku demikian. Memang dorongannya tujuannya untuk membuat orang sukses, namun definisi sukses tidak sesempit punya rumah gedong dan uang banyak. Kalo tujuannya itu, yah wajar banyak orang Indonesia korupsi dimana-mana. I find it whimsical and I hate it very much.

Hal lain yang mendukung munculnya materialisme adalah gaya hidup yang berbinar-binar. Banyak banget temen gw yang lebih mementingkan besok makan di restoran apa ketimbang besok mau masak apa. Entah berapa banyak orang yang lebih penting memakai baju yang paling ngetren masa kini ketimbang membetulkan rumah mereka yang sudah usang. Entah berapa banyak orang yang mendahulukan gaya ketimbang kebutuhan. Yang paling gw males kadang yang gini2 tuh kerjaan anak ngabisin uang kerja keras bapaknya. Hadeh2. Useless pig. Inget yah, kalo uang yang elo abisin bukan buat kebutuhan, you're a useless pig. USELESS PIG!

Fakta yang lebih menariknya adalah: jengjeng. Coba deh tengok daftar orang-orang terkaya dunia dan cerita dibalik kekayaan mereka. Ada gitu diantara mereka yang fokusnya nyari uang? Nggak ada choi. Mostly punya vision that revolutionize the industry in their respective fields. Kalo ada yang kaya karena keturunan pun setidaknya mereka masih bertanggung jawab dengan apa yang mereka miliki. Bahkan Bill Gates, kalo mau tau, secara akumulatif total kekayaannya yang sekarang itu cuma 40 persen dari apa yang pernah dia dapat selama karirnya. Lah 60% ilang kemana? Ke lembaga sosial dan riset doi men. Iyah disumbangin. Henry Ford bilang bisnis yang cuma mentingin uang itu bukan bisnis. Sebelum Elon Musk sukses dengan Tesla dan Solar City, dia dulu ngejual PayPal ke eBay dan dapet bagian 150 juta dollar. Kalo isi otaknya 'asal dapur ngebul', kekayaan dia nggak akan sampe belasan miliar dollar sekarang. Di kala Tesla (perusahaan mobil listrik) bakalan bangkrut dan ga punya investor, dia hampir ngabisin uang yang dia punya dari eBay untuk Tesla. Lihat kemana hal itu membawa dia hari ini. The rich does not look for money, they work to change the world and money look for them.



Beberapa waktu lalu saya pernah ngobrol dengan supir angkot. Isi obrolannya jauh lebih berbobot ketimbang kalo saya main ke sekre2 himpunan atau unit. Saya perhatikan beliau tidak pernah sekalipun berhenti untuk ngetem. Tak ada peraturan lalu lintas yang dia langgar dan dia mendahului seperlunya. Ketika ada orang yang akan menyeberang jalan, beliau menghentikan mobilnya sebentar walau berujung pada klakson mobil dan motor. Cara menyetirnya tidak sembarangan dan dia tahu banyak mengenai perda. Ketika ada yang bertanya padanya, jawabannya begitu ramah dan santun. Ia cerita hobinya di rumah adalah membaca koran dan menonton Mata Najwa. Beliau bilang ia memang sudah tua dan tak banyak lagi mimpi yang bisa beliau kerjakan, maka ia menaruh harapannya pada anak-anaknya kelak. Yang hendak beliau lakukan sekarang adalah berusaha sebaiknya untuk menjadi supir angkot yang baik. Beliau bilang pahlawan masa kini bukan yang menang berperang dengan penjajah, namun dengan ego pribadi. Bagi saya, beliau sudah memenuhi visinya, menjadi pahlawan supir angkot. Tentu saja beliau jauh lebih terpelajar dibanding kebanyakan mahasiswa. Dan angkot yang ia kemudikan, tak pernah sekalipun kosong.

    

0 komentar :

Posting Komentar